Pengakuan

210 47 37
                                    

Irena

Tangan gue refleks mendorong dada Yasha saat tahu Ale dan Naka muncul di antara kerumunan. Seperti tersadar akan satu hal, Yasha juga melepaskan dekapannya tapi tangan kanan masih memegang lengan kiri gue. Erat.

Gue masih nggak bisa berpikir jernih karena masih terguncang karena kejadian sebelumnya. Semuanya terlalu cepat. Bau hangus terbakar tercium dan gue masih ada di lantai atas saat api ternyata udah makin membesar di pantry tapi syukurnya gue masih bisa menyelamatkan diri walaupun rasa trauma ini bakalan selalu jadi mimpi buruk buat gue.

"Bang Yashaaa!" Panggil Naka sembari berlari beriringan dengan Ale yang di belakangya.

"Ren, kamu nggak apa-apa?" Tanya Ale sambil mengecek gue kalau ada yang terluka.

Gue menggeleng kecil. Tangan kiri gue memberontak supaya Yasha melepaskan genggamannya namun nyatanya geganggaman itu makin erat.

"Dia luka, Bang." Lengan gue terangkat. Dan disaat itu gue mulai merasakan perih di bagian siku kiri.

Ale dengan cepat meraih lengan gue namun dengan cepat pula gue mengibaskan sentuhan Ale. "Gue nggak apa-apa," jawab gue seraya menutupi luka tersebut. "Tadi pas gue mau turun, gue kepeleset makanya luka. Tapi ini lecet doang, jadi nggak masalah," jelas gue berharap luka ini nggak usah terlalu diperbesarkan karena ada yang lebih penting yaitu api.

Api bisa dipadamkan dengan cepat sehingga belum sempat untuk merambat ke gedung sebelahnya.

"Ya udah, mending Yasha antar Irena. Biar masalah ini gue sama Naka yang urus," suruh Ale.

Yasha mengangguk lantas menuntun gue ke mobilnya yang terletak agak jauh rupanya.

Di dalam mobil, gue dan Yasha nggak banyak cerita. Kecanggungan kini menyeruak. Nggak seperti Yasha yang biasanya bawel dan selalu kepo serta komentar akan banyak hal, kali ini gue melihat gusar terlihat jelas di wajahnya.

Badan Yasha tiba-tiba bergerak maju ke arah gue, melewati batas jok pengemudi. Wajah gue dan dia terlalu dekat membuat badan gue tegang dan nggak nyaman. Tangan Yasha bergerak. Seketika mata gue mengekor kemana tangan kokoh itu akan berlabuh.

"Gue pasangin safety belt-nya, ya," ujarnya sambil melingkarkan sabuk pengaman.

Gue mengangguk pelan. Refleks memegang dada. Jantung ini berdetak lebih cepat dan lebih kencang, nggak lucu kalau Yasha tahu gue menjadi segugup ini.

Mobil berjalan dan gue nggak tahu kemana Yasha mau akan membawa. Gue cuma duduk, diam, sesekali mengalihkan pandangan ke luar mobil yang terbingkai oleh kaca.

"Gue minta maaf," ucapnya. "Tadi gue bener-bener takut dan panik, takut terjadi apa-apa sama lo, Ren. Dan masalah gue..." suaranya terputus. "Gue yang peluk lo tadi, gue nggak bermaksud apa-apa, gue spontan, sama sekali nggak bermaksud buat apapun."

Perlahan detak jantung gue sepertinya kembali normal. Namun mendengar ucapan Yasha barusan muncul perasaan lain. Se...ma...cam kecewa. Ya mungkin gue sedikit kecewa atau apalah pengertian lainnya karena ucapan Yasha nggak sesuai dengan apa yang gue harapkan. Mungkin.

Gue tersenyum layu. "Nggak apa-apa. Lagian siapa yang nggak panik dalam situasi kayak gitu, kan?"

Ahaaaha... bener! Gue ketawa dalam hati. Siapapun pasti panik dong, ngeliat api segede itu sedangkan di dalamnya masih ada orang. Sekejam-kejamnya orang pasti punya nurani kemanusiaan dan pas tahu orang itu muncul dalam keadaan sehat walafiat pasti bakalan dipeluk dengan rasa syukur, kan?

Mungkin itu yang dimaksud Yasha. Lagian Yasha punya pacar, kan? Pasti itu cuma iba doang, kan? Ya nggak, sih? Iya dong.

Hahaha... gue pengen ketawa tapi juga pengen nabok orang sekaligus.

Back To December  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang