Desember

665 52 7
                                    

IRENA

Waktu gue kecil, gue pernah berpikir enak banget ya jadi orang dewasa. Bisa kerja, lalu jalan-jalan ke luar negeri terus ngabisin duit sesuka hati, bisa naik mobil sendiri, bisa melakukan apapun tanpa ada yang harus ngelarang. Se-simple itu pikiran gue tentang jadi orang dewasa. Berlanjut ketika Kak Fany SMA dan gue masih SMP, gue selalu iri bagaimana kak Fany diperbolehkan punya handphone dan ia juga diperbolehkan keluar setiap malam minggu, bahkan Kak Fany diam-diam pesta pakai bikini dengan teman -temannya.

Dan gue iri? sejujurnya iya.

Karena walaupun pada akhirnya setelah gue SMA dan orang tua gue memperbolehkan gue melakukan hal yang dulu Kak Fany lakukan, pada nyatanya gue tetap tidak melakukan hal-hal tersebut.

Beranjak ketika gue SMA, gue lebih nyaman sendirian dan mengunci pintu di dalam kamar. Ngedengerin musik atau dengerin celotehan penyiar radio itu lebih menyenangkan buat gue daripada gue keluyuran nggak jelas, nongkrong di Grand Indonesia atau di cafe kayak yang lain. Gue nggak menyalahi orang-orang yang berbeda dari gue, karena gue juga tahu bahwa cara orang menikmati hidup pasti berbeda. Gue cuma ngerasa nggak nyaman aja sama hal-hal itu.

Barulah setelah kuliah Kak Fany ngajarin gue beberapa hal, mulai dari dandan, cara berpakaian, sampai pada akhirnya gue jatuh cinta sama segala sesuatu yang berhubungan dengan fashion.

Orang-orang di sekitar kita bilang, kalo gue dan Kak Fany punya kepribadian yang berbeda hingga seratus delapan puluh derajat. Kak Fany orangnya ceria, dia lebih mudah akrab sama siapapun bahkan sama orang yang baru dia kenal sekalipun. Sedangkan gue, gue nggak bisa seperti itu. Banyak hal yang gue batasi dari orang-orang apalagi yang baru kenal. Lagi pula kayaknya gue menganut aliran "semua harus ada batasnya".

ba·tas n 1 garis (sisi) yang menjadi perhinggaan suatu bidang (ruang, daerah, dan sebagainya); pemisah antara dua bidang (ruang, daerah, dan sebagainya.)

Se-enggaknya itu makna batas ketika gue buka Kamus Besar Bahasa Indonesia waktu masih sekolah. Tanpa batas semua bersikap bebas termasuk mengulik ranah pribadi yang sebenarnya hanya untuk kita sendiri. Gue nggak mau itu terjadi, diri gue, cerita gue, dunia gue, apapun yang terjadi pada diri gue, hanya untuk diri gue sendiri.

Gue nggak punya banyak teman apalagi sahabat kayak Kak Fany, Mungkin ada beberapa teman atau kenalan, atau gue lebih nyaman menyebutnya sebagai kolega, itupun berkat kak Fany. Yah, satu-satunya orang di dunia ini yang bisa gue andalkan adalah Kak Fany, Kak Fany, dan Kak Fany. Sebagai anak sulung Kak Fany udah berusaha keras supaya gue jadi anak baik, nurut sama orang tua dan jadi Kakak yang baik juga buat Bian. Dan sampai detik ini, gue nggak yakin bahwa semua itu sudah gue perankan dengan baik atau belum.

Gue peduli sama orang lain, tapi gue bukan orang yang terbuka dengan hal-hal seperti itu. Gue bukan tipikal orang yang pandai mengungkapkan sesuatu apalagi jika itu menyangkut dengan perasaan.

Dan hal ini salah satu alasan kenapa gue benci jadi orang dewasa yang harus selalu menggunakan perasaan.

Dari sekian rumit teori dan quotes bijak yang gue baca, nggak ada orang yang benar-benar memahami soal perasaan. Tahu apa tentang perasaan yang dirasakan orang lain? Gue nggak akan melanjutkan kata-kata soal perasaan sampai lebaran kura-kura pun nggak akan pernah ada yang namanya titik temu.

"Ren, kamu jadi pergi?" tanya Kak Fany ke gue.

Gue mengangguk sambil membereskan lembaran kertas di atas meja. "Bentar doang. Nggak enak sama mereka kalo aku nggak datang."

"Acaranya di daerah mana, sih?" Tanyak Kak Fany sambil mengoleskan lipstik berwarna pink nude di bibirnya.

Gue tiba-tiba berhenti mengumpulkan lembaran kertas, berpikir sejenak, lalu menyadari bahwa gue belum bertanya dimana acara itu akan berlangsung. "Belum nanya," jawab gue singkat.

Back To December  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang