comin' to my world

50 8 0
                                    

Mungkin jika aku tahu sejak awal tidak akan jadi seperti ini nantinya. Tapi bukan berarti aku juga menolak apa yang telah terjadi. Meski sakit, ini adalah awal dari senyuman tanpa arah.

Sejak matahari terbit dari ufuk timur dengan satu tombak yang menyapa pepohonan tinggi di sana. Senyumanmu kian menghangat kala itu, matamu terlihat jernih dan teduh. Sungguh, jika saja ini adalah mimpi ijin kan aku terus di sini.

.......

Bukan ingin Jihoon untuk menolak keinginan dari Soonyoung. Ini adalah hal yang ia sukai. Bahkan sangat. Tapi ada sesuatu yang mengganjalnya kali ini.

"Aku akan memakannya dengan baik."

Soonyoung sungguh memakan bubur yang Jihoon buatkan untuknya. Hingga suapan terakhir yang masih Soonyoung jejalkan di sana. Rasa bubur itu seperti yang ia inginkan. Begitu menyatu di dalam mulutnya, rasa spinach yang Jihoon campurkan tidak mengubah rasa dari bubur itu. Ini bubur yang ia inginkan.

"Bisa kau buatkan setiap hari untukku?" Ujarnya cukup meyakinkan.

Jihoon hanya menggeleng sembari tersenyum.

"Ji- Aku menyukainya. Kau tahu kantorku bukan? Kirimkan ke sana" Titah Soonyoung sambil terus memakan buburnya habis. 

Jihoon yang semula memandangi Soonyoung yang menampilkan wajah gembira kini kembali menggelengkan kepalanya. Soonyoung yang sadar dengan reaksi itu kini menoleh kecewa. Harapannya dengan bubur dan masakan dari Jihoon ini tidak lagi bisa memasuki kantor dan perutnya kelak.

"Why? Apa aku salah memintamu?"

"Nope, karena aku tidak lagi ingin membuatnya."

"Kalau begitu aku akan membeli di kedaimu." Jihoon tidak memberi Soonyoung jawaban sama sekali. Dirinya bahkan hanya menatap pemilik mata sipit itu dengan tenang. Alih-alih mendapat sebuah jawaban dari tatapan mata Jihoon, Soonyoung bahkan tidak bisa membaca tatapan yang terlontar padanya itu.

Jihoon tidak meladeni Soonyoung. Seperti ia biasanya. Jihoon hanya bermain dengan ponsel pintar miliknya dengan gerakan gesit. Soonyoung cukup ragu dengan tatapan yang belum lama hilang dari pikiannya ini. Semua kalimat terus bertanya mengapa dan bagaimana.

Tidak ada lagi yang bisa ia tanyakan meski kalimat itu tidak keluar sama sekali dari mulutnya. Soonyung cukup menahan kesal dalam diamnya. Ia ingin kembali merasakan club yang sudah lama tidak ia kunjungi tetapi sekarang dia sedang bersama dengan Jihoon, Jika dirinya meninggalkan Jihoon, tidak hanya ayahnya yang akan marah pastinya kedua sahabatnya juga.

"Ji, Aku ingin sedikit tahu tentangmu." Ujar Soonyoung dengan hati-hati. Mendengar hal itu sontak saja Jihoon memalingkan wajahnya dari layar ponsel pipih tersebut. Kedua mata itu bertemu namun Jihoon malah kembali menatap layar ponselnya.

"Katakan saja bukan biasanya kau tidak meminta izin terlebih dahulu."

Soonyoung lantas mengangguk, "Itu kau kan?" Jihoon terdiam memandang ponselnya sesaat setelah tangan itu berdansa diatasnya. Jihoon kembali menatap Soonyoung hendak mengetahui apa yang sedang Soonyoung katakan padanya.

Apa yang akan terungkap kali ini darinya pada Soonyoung? Apakah dirinya yang membuat kekacauan malam itu atau dirinya yang pernah membuntutinya selama dua tahun belakangan ini. Yang mana yang akan Soonyoung katakan padanya.

Jujur saja jantungnya sedikit berdegup dengan kencang dengan kalimat yang terlontar tersebut. Jihoon bahkan tidak tahu siakap seperti apa yang harus dilakukannya kali ini. ia merasa tidak bisa lolos dari pengaruh Soonyoung lagi kali ini.

"Itu kau bukan? Kau yang memberiku bekal setiap aku telah melakukan meeting?" Soonyoung menatap lekat mata yang mencoba terus menghindari tatapannya ini. "Lihat aku Lee Jihoon! Kau bukan?"

"Sudah ku katakan itu bukan aku!" Tolak Jihoon dengan cepat.

"Ji, aku bertanya dengan bawahanmu di kedai jika mereka tidak membuatkan bekal serupa seperti yang aku tunjukkan. Mereka hanya membuat menu hidangan italia dan beberapa diantaranya jepang. Jadi bekal yang kau berikan padaku itu adalah keinginanmu bukan?"

"Aku tidak membuatkan makanan untuk orang lain Soonyoung. Aku menjualnya dan semua masakan di kedai itu memang seperti yang kau sebutkan. Lalu kenapa kau masih ingin tahu jika jelas bukan aku yang membuatnya." Jelas Jihoon dengan tampilan wajah seriusnya.

Soonyoung yang mendengar kalimat yang Jihoon katakan padanya membuat sebuah percikan kecil dalam hatinya kian membara. Mengapa hanya mengakuinya saja tidak bisa. Padahal Jihoon selalu memiliki waktu luang untuk mengatakan yang sebenarnya pada Soonyoung tapi mengapa hal itu tidak terjadi padanya?

"Ji- ku beri kau kesempatan untuk mengatakannya padaku sekarang."

"Tuan Kwon Soonyoung apa yang ingin kau dengar dariku? Bukankah aku sudah mengatakannya barusan?"

"Dengar Ji- aku tahu kau menyukaiku sejak lama, aku mendengarnya dari Joshua dan Seokmin. Jika memang bukan kau dari kotak makan itu bukankah seharusnya kau bersikap tidak terima?" Soonyoung mengunci pandangan Jihoon padanya. "Kau akan marah ketika aku mendapat sesuatu dari orang lain bukan? Dan itu adalah hukum yang memang seharusnya terjadi tapi apa yang kudapat? Kau bahkan bersikap biasa seolah tidak cemburu jika itu adalah orang lain. Bukankah itu artinya kau yang membuatnya?"

Jihoon terdiam dengan kalimat panjang yang keluar dari bibir Soonyoung. ia benar-benar lupa dengan reaksinya. Sealami mungkin, untuk biasa dengan seluruh reaksi yang seharusnya tertampil untuk Soonyoung telah terlupakan. Jihoon lupa dengan itu. Tapi dirinya kembali memutar alasan yang bisa digunakan. Sebab apa yang Soonyoung katakan ini benar adanya.

"Tuan Kwon Soonyoung yang terhormat. Dengar, jika kau tahu dan menganggapku biasa saja saat aku memiliki perasaan padamu, mungkin benar. Tapi aku tidak harus cemburu dengan sikap itu. Toh, kamu juga tidak memiliki perasaan padaku."

Soonyoung terdiam. Ia hanya ingin memastikan bahwa jawaban itu keluar dari mulut Jihoon. "Ji- bagaimana jika aku punya, kau harus mengatakannya sekarang juga jika itu dirimu."

"Kenapa aku harus mengakuinya?"

"Karena ku tegaskan lagi Ji, aku bisa membalas perasaanmu."

Berharap Jihoon akan menampilkan wajah senangnya, tapi tidak lagi. Jihoon hanya menatap datar Soonyoung. Di mana kepergian hatinya yang menyukai Soonyoung? Tidak pergi, dia hanya bersembunyi.

"Begitu caranya kau menggoda banyak wanita?" kalimatnya keluar dengan pelan tapi Soonyoung begitu merasa buruk pada kalimat itu.

Terjadi kesalah pahaman dari mereka berdua membuat Soonyoung makin geram dengan sikap Jihoon yang terus menyudutkan jawaban yang ia beri. 

"Mengertilah ji, aku di sini karenamu Ji-" Masih tidak ada respon dari Jihoon. Sekarang semuanya terlihat semakin ruwet.

"Sudah, jika kau ingin buburnya. Akan ku buatkan nanti, hanya 2 kali di saat-saat tertentu. Aku harus pergi ke suatu tempat."

Soonyoung sedikit kesal dengan jawaban yang tidak memuaskan tersebut. Tapi jika dirinya memaksa hilang sudah harapannya untuk memikat hati kecil yang mungkin sedang dilanda egonya sendiri.

"Biar ku antar!" Jihoon menggeleng sambil menatap Soonyoung.

"Tidak perlu Kwon. Aku bersama temanku."

"Siapa? Seungcheol?"

"Bukan masalahmu. Jangan mencariku hingga petang nanti. Jadi kau bisa bersenang-senang malam ini." Jihoon hendak melenggang pergi sebelum dia rasa sakitnya makin tumbuh.  

"Ji- sudah ku katakan. Jangan pergi dan dekat dengannya lagi. Aku tidak- ... bagaimana jika dia mencelakaimu seperti waktu itu?"

"Tenang saja, dia masih memiliki perasaan denganku. Dengan begitu tidak ada lagi kejahatan yang ia perbuat padaku."

"Jadi kau akan pergi mengabaikanku?" Soonyoung menunduk sorot matanya terlihat amat membenci sesuatu. 

"Tidak, lebih tepatnya. Aku akan membiarkanmu bersenang-senang untuk menguatkan argumenmu menolakku."

"JIHOON! AKU MELARANGMU PERGI LAGI DENGANNYA!" Tidak ada lagi batasan yang Jihoon keluarkan. Hanya sebuah alasan yang kurang tepat jika Jihoon ingin menahan Soonyoung tetap berada di sini bersama.

Jihoon menatap teduh sosok yang sedang meraih tangannya ini dengan cukup kuat. Seolah tidak ada yang ingin dilepasnya. Jihoon pun mengerti jika genggaman Soonyoung padanya terasa makin kuat. 

flores florecientes | -SOONHOON-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang