BAB 6 [CALON TAMU HATI]

146 22 1
                                    

Pagi sekali Ayunda dan Anta pergi meninggalkan keempat anaknya ke luar kota. Mereka langsung bergegas pergi ketika mendapat telepon mendadak dari orangtua Anta. Ayunda sempat mengajak putra sulungnya, tapi ditolak dengan alasan ada konser band di sekolahnya.

Rama dan Bian diamanahkan mengurus kedua adiknya yang terbilang agak susah diatur. Terutama Aira. Wujud perempuan tapi kelakuan mirip preman. Ayunda pernah beberapa kali menawarkan anaknya ke sanak saudara untuk merawatnya, tapi tidak satu pun dari mereka yang memberi respons positif. Semua saudaranya angkat tangan karena rata-rata anak mereka pernah menjadi korban pukul Aira akibat membuli seseorang.

Aira memang selalu bergerak menurut insting realistisnya. Orang lain menerimanya dengan tangan terbuka, maka Aira bisa melakukan lebih dari itu, begitu pun sebaliknya. Tidak ada toleransi sama sekali dalam kamus hidupnya dan hanya ada satu suara yang bisa didengarnya, Rama. Kakak sulungnya.

Selepas keberangkatan Anta dan istrinya keempat anak itu berkumpul di ruang makan. Bian meletakkan selembar kertas di atas meja makan. Ketiga saudaranya ikut memerhatikan. Di sana ada jadwal yang harus dilakukan selama orangtua mereka pergi.

Bangun pagi, mandi pagi, berangkat sesuai jadwal, tidak ada pulang terlambat, dan tidak ada penolakan. Bian tidak suka ditolak selama dedikasinya benar dan masuk akal.

Aira mengangkat tangan kanannya. "Kenapa jadwal gue begini? Gue kuliah biasa balik malem. Jangan seenaknya bikin aturan deh, Mas Bian."

Bian tidak merespons apa-apa. Masa bodoh kalau adiknya mau protes. Dia tidak mau merubah jadwal sama sekali.

"Tau nih, gue masih ada latihan band buat besok konser." Dan ikut memprotes.

Aira menyenggol adiknya dan melirik Rama. Kakak sulung mereka nampak asik menikmati bacaan bukunya sambil menyesap kopi.

"Mas Rama," panggil Aira. Dia menujuk-nunjuk jadwal yang diberikan Bian.

Rama hanya menaikkan salah satu alis matanya lalu kembali membaca. Pada akhirnya mereka berdua bernegosiasi dengan Bian dan Rama soal jadwal di luar rumah.

"Oke, kalian bisa pulang kalau tugas di kampus dan di sekolah selesai. Syaratnya, setiap pulang kalian harus bebenah rumah, minimal kamar kalian beresin setiap abis bangun, pel sendiri karena kita nggak puny apembantu. Soal makanan, nanti Mas sendiri yang masak. Mas Rama bagian pengeluaran uang."

Rama tersedak roti yang sedang dikunyahnya. "Loh, kenapa bagian pengeluaran uang ke aku?"

"Memangnya Mas tega kalau kita selaku adik malah mengeluarkan uang. Status lo sebagai anak pertama gimana, Mas? Nggak malu?" tukas Bian sekenanya. Hati Rama seketika tercubit. Bian memang paling handal kalau soal bagi-bagi tugas. Padahal dia tidak punya peran penting dan pekerjaannya lebih sedikt dibanding yang lainnya, tapi entah mengapa sejak kecil dia susah membantah setiap Bian membuat ide.

Dengan pasrah Rama ikut menerima semua perintah Bian. Sedangkan Bian tertawa penuh kemenangan dalam hati. Kapan lagi dia bisa mengatur saudaranya.

Ketika kesepakatan sudah akad, mereka mulai pergi ke tujuan masing-masing. Hari pertama ditinggal kedua orangtuanya pergi belum terasa apa-apa. Masih tenang dan damai, tidak ada secuil masalah sampai sore menjelang.

Orang pertama yang tiba di rumah adalah Dan, tapi dia belum masuk rumah. Si Bungsu mengutuk dirinya yang tidak membawa kunci cadangan. Dia hanya bisa pasrah menunggu salah satu kakaknya pulang ke rumah.

Hampir satu jam Dan menunggu di bangku depan rumah. Suara langkah kaki dan tawa membuat Dan menoleh ke arah gerbang. Itu Aira, tapi dia tidak sendiri. Dia ingat perempuan yang ada di samping kakaknya, namanya Yasmine. Perempuan yang ditemui ibunya minggu lalu dan ddia menjadi pilihan bundanya untuk Bian.

ESCAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang