BAB 13 [AJAKAN NIKAH]

101 12 0
                                    

Rama menguap beberapa kali. Semalam dia tidak tidur hanya untuk mendengarkan cerita Anna di telepon. Perempuan itu menelpon Rama dari pukul delapan malam sampai empat pagi. Tidak ada yang terlalu penting dalam obrolan mereka. Anna hanya menceritakan keluh kesahnya sebagai anak rantau yang jauh dari kedua orangtuanya.

Seberapa kali pun Rama menyuruh Anna untuk tidur, perempuan itu hanya menggerutu karena tidak suka ketika dia bercerita tapi tidak tuntas. Masalahnya, semua cerita yang Anna ceritakan sudah selesai tapi dia menceritakan hal lain lagi.

Rama meneguk susunya dan menghabiskan roti selai kacang yang disiapkan Ayunda. Meski dengan kantuk yang tidak tertahankan dia tetap ikut makan bersama kluarganya. Padahal hari ini dia bebas tugas, tapi kebiasaannya yang tidak mau melewati makan bersama keluarga membuatnya harus keluar kamar.

"Kamu habis begadang? Memang kemarin pulang dari rumah sakit ke mana?" tanya Ayunda.

"Nggak kemana-mana. Aku langsung pulang ke rumah. Menyendiri di kamar."

"Lalu kenapa kamu nguap terus? Begadang? Ada pasien gawat darurat lagi?"

Rama menggeleng. "Rama cuma kurang tidur aja. Samalam ada yang harus diselesaikan sampai subuh."

Aira dan si Bungsu saling melirik satu sama lain waktu mendengar jawaban Rama. Kakak sulungnya sedang berbohong.

Semalam, waktu Rama selesai makan, dia langsung pergi ke kamar. Pukul sembilan malam Anna dan si Bungsu menyusul ke kamar mereka masing-masing.

Namun, langkah keduanya terhenti tepat di depan kamar Rama. Mereka mendengar kakak sulungnya tergelak, benar-benar sesuatu yang langka. Mereka saling melempar pandangannya satu sama lain dan menempelkan telinganya ke pintu. Rama beberapa kali menyebut nama Anna dan bersuara agak samar. Pintu kamar Rama terlalu tebal, jadi mereka tidak begitu jelas mendengarnya. Satu hal yang bisa mereka pastikan, Rama sedang teleponan dengan Anna membicarakan sesuatu yang menyenangkan.

"Mas Rama lagi PDKT sama Kak Anna, ya?" tanya Dan.

"Kayaknya." Aira semakin menguping.

"Aku suka sama Kak Anna."

Aira terbelalak dan menjauhkan kepalanya dari pintu. "Ngaca, lo masih bocah bau kencur. Beda level usia sama Kak Anna. Lo harus jadi kaya Mas Rama biar bisa ditaksir Kak Anna." Aira mengankat kelima jari kanannya, "pinter, ganteng, manis, cekatan, rajin ibadah."

"Bukan suka yang itu, tapi suka kalau dia jadi kakak kita."

Aira mengerling dan berlalu meninggalkan Dan yang masih berdiri di depan pintu Rama.

Pada akhirnya kisah semalam hanya Aira dan si Bungsu yang tahu. Tentang Anna yang bisa membuat Rama tertawa setelah sekian lama mereka tidak mendengar suara tawa lepas kakak sulungnya.

Rama sudah menyelesaikan sarapanya. "Kalau Rama ketiduran, tolong bangunin jam 11, ya. Ada janji sama teman."

"Teman yang mana? Kata kamu, Joe ada tugas dinas luar kota lagi."

"Teman kerja, Bund."

Ayunda hanya membentuk mulutnya seperti huruf O. Sedangkan Aira dan si bungsu saling menyenggol kaki satu sama lain.

Rama kembali ke kamar, Aira mengajak Dan untuk menemaninya keluar rumah. Sedangkan Bian masih bermalas-malasan di rumah sepanjang hari. Meski matahari sudah menampakkan cahaya jingganya, Bian masih dengan posisi ternyamannya di atas sofa.

"Mas Bian nggak ada kerjaan?" tanya Dan. Dia sudah rapi dengan setelan jaket dan sepatu.

Bian Mengangkat jempolnya sambil melirik si bungsu. "Jogging?"

Dan mengangguk. Ke dua matanya tertuju ke anak tangga, di sana Aira menggunakan stelan yang sama seperti Dan. Dia jalan menghampiri kedua saudaranya.

"Lo nggak ada niatan bangun dari sofa, Mas?" tanya Aira ketika melihat Bian sedang merebahkan tubuhnya di sofa dengan selimut yang dibawa dari kamarnya.

"Nanti, kalau ada gempa bumi, gue baru bangun." Bian kembali memejamkan kedua matanya.

***

Waktu terus berlalu, hari pun semakin siang. Aira meminta Dan untuk membelikan air minum yang ada di toserba dekat alun-alun perumahan.

Ketika itu, Dan menahan diri dan menarik Aira ke sebuah pohon yang ada di dekat alun-alun. Di sana ada taman mini. Banyak para anak muda yang datang sekadar jalan santai atau senam. Ada juga yang hanya sekadar nongkrong bersama teman sebaya.

"Lo mau ngapain, sih, Dan?" sungut Aira yang sedang kehausan.

Dan memberi isyarat agar Aira diam. Dia menyuruh Aira untuk berjongkok sepertinya di dekat semak-semak.

Tangan Dan menunjuk ke sebuah bangku yang mana di sana ada dua orang yang sedang duduk sambil bercengkrama ringan.

Laki-laki yang sedang duduk di sana terlihat sangat tidak asing bagi dua bersaudara yang sedang mengintip itu.

"Saya kira bakal terlambat gara-gara minta dadakan," ujar perempuan yang duduk di samping laki-laki itu.

"Saya cuma kaget, enggak biasanya kamu merubah jadwal seperti ini." Laki-laki itu membenahi rambutnya yang sedikit tertiup embusan angin.

"Anu, saya langsung ke intinya saja." Perempuan itu menarik napas dalam-dalam dan mengembusakannya dengan kasar. "Dokter Rama, ayo kita nikah."

Dua bersaudara yang sedang bersembunyi di balik semak-semak tadi terkejut dengan mulut sedikit terbuka. Mereka berdua saling melihat dan kembali memerhatikan Rama.

"Anna, saya rasa kami terlalu cepat untuk jatuh cinta ke saya." Rama menyunggingkan senyum seperti biasa. Dia menepuk bahu Anna dan bangkit dari kursi taman.

"Kalau begitu saya pamit pulang dulu. Masih ada sesuatu yang mau saya urus." Rama meninggalkan Anna yang masih bergeming di tempatnya.

Namun, baru dua lagkah Rama pergi, Anna langsung memanggilnya dan bangkit dari kursi.

"Tiga bulan." Anna menunjukkan ketiga jari kanannya. "Beri saya waktu tiga bulan untuk membangun kepercayaan Dokter Rama kalau saya sungguh jatuh cinta ke dokter."

"Itu hanya akan melukai salah satu pihak." Rama kembali melangkah.

"Kalau begitu biar saya yang maju sampai Dokter Rama mau menerima saya. Saya akan tunggu dokter sampai kapan pun." Anna berteriak sekencangungkin. Padahal di sana masih banyak orang, bahkan posisi mereka berdua masih sangat dekat.

Rama tidak menggubrisnya sama sekali dan berlalu begitu saja. Sedangkan Anna sendiri masih berdiri di tempatnya mengabaikan banyak pasang mata yang sedang memerhatikannya dengan iba.

"Mas Rama bego banget! Sok jual mahal!" geram Anna.

"Aku jadi kasihan sama Kak Anna. Dia ditolak sama kulkas seribu pintu." Dan ikut prihatin.

Anna terlihat sedang berpikir, tiba-tiba dia merangkul Dan dan mengajaknya segera pulang ke rumah.

"Gue ada rencana buat bikin Kak Anna sama Mas Rama bisa deket kaya lem sama perangko."

Dan melepas rangkulan kakaknya sambil memerhatikannta dengan tatapan sedatar mungkin. Biasanya, setiap kali Anna memberi ide, hal itu tidak pernah masuk akal.



ESCAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang