Theressa Reis POV
Menetralkan kembali emosiku, aku berlari menjauh dari tempat itu, berlari kembali kedalam medan pertempuran yang masih berlanjut dengan kacau. Namun, sebagian musuh mulai menyusut jauh dari perkiraanku, dan sayangnya itu juga berlaku untuk pasukan kami. Mereka gugur dengan bercak darah dimana-mana yang tercampur dengan bau pekat asap dari api yang membakar tubuh mereka.
Pemandangan sangat kacau. Udara dipenuhi oleh kabut dan daratan dipenuhi oleh api. Aku bahkan tidak tahu siapa orang-orang disekitarku saat ini, dimana mereka bertarung didalam asap yang pekat dan tak beraturan.
Dentuman tiba-tiba terdengar dan membuat gelombang kejut disepanjang permukaan air laut. Tanah dibawahku bergetar, dan aku sekilas melihat kilatan putih dari langit yang menghantam jauh kearah selatan dibalik bukit-- yang kutahu adalah tempat dimana divisi pertama berada.
"Petir ..."
Yah, sepertinya situasi disini tidak hanya satu-satunya yang kacau.
Clang!
Aku menahan serangan tiba-tiba yang mengarah padaku, terus menyerang dengan sihir dan menebas apapun disekitarku. Terus seperti itu, berjam-jam mulai terlewati, bahkan aku tetap bertarung dan mengangkat pedangku meskipun tubuhku mulai kelelahan.
"!"
Dan berkat itu, diantara nafasku yang berat, aku terkejut ketika sebuah cengkraman tiba-tiba menangkap lengan kananku, melempar tubuhku kearah kerumunan disaat aku terlambat bereaksi.
Meskipun terkejut, kakiku menyentuh tanah lebih dulu, mendarat sempurna dan menatap apa yang baru saja melemparku.
"Ogre¹?"
Monster yang tiga kali lipat besarnya dariku itu meregangkan jari-jari tangan kiri nya-- yang tampaknya baru saja digunakan untuk melempar tubuhku. Tangan besar itu lalu mengambil sebuah senjata raksasa yang ada disampingnya, sebuah palu dengan batu besar yang diikat pada sebatang pohon oleh akar merambat.
"Kau menghalangi--!"
Huh?
Seruanku terhenti ketika melihat Ogre itu mulai mendekat padaku dengan langkah yang berat, tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang tajam dan penuh darah ... sebelum tiba-tiba ia melemparkan sesuatu tepat didepan kakiku.
Mataku melebar, aku melangkah mundur untuk sesaat. Sesuatu yang ia lemparkan menggelinding, mengeluarkan darah tanpa henti dengan mata yang masih terbuka dengan takut dan dipenuhi keterkejutan.
"Ah ... ini buruk ..." Tanganku terkepal, mengalihkan mataku dari 'sesuatu' yang tak ingin kulihat, dan kembali menghadap Ogre itu.
Sebuah kepala.
Tapi, Ogre itu kembali menggenggam sebuah kepala lainnya, menatap padaku seolah sedang mengolokku.
'Jadi, ketika aku sedang melawan kedua Ygract itu ... Ogre ini berkeliaran tanpa sepengetahuanku ... berkeliling untuk membunuh para prajurit yang lebih lemah darinya ... kemudian datang mengejekku?'
"Betapa rendahnya ..." gumamku.
Aku bisa mendengar tawa Ogre itu yang serak, berat dan menyebalkan. Ia kembali melemparkannya padaku, namun sebelum kepala itu sampai padaku dan menyentuh tanah ...
"Ogre seharusnya diam di Dungeon."
Aku muncul tepat dihadapannya, menggeram marah dan memotong lengan kiri yang telah melempar kepala itu. Matanya terbelalak, ia bereaksi lambat ketika tangan kirinya terbang diudara, sebelum akhirnya ia menatapku dengan marah. Ia menarik senjata raksasa itu, mengayunkannya sekuat tenaga dengan angin yang menambah beban kecepatannya. Tapi, aku melompat diudara tepat ketika senjata itu terayun dibawahku. Kakiku mendarat diatas batu besar-nya yang meleset, menatap penuh apatis sebelum akhirnya pedangku bersinar dengan rona biru oleh ledakan Mana yang ku aliri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Eternity | Book II : Epilogue
Fantasy[High Fantasy : Book II] "War, blood and love." •Epic fantasy, adventure, kingdom, magic, action• 3 tahun telah berlalu sejak penyerangan terhadap kerajaan Ruides dan kepergian Theressa Reis dari kekaisaran Arburght. Kini, gadis itu kembali dengan e...