Theressa Reis POV
Saat aku diam dengan gugup, Profesor mendekat kearahku dan membuat pandanganku tertuju padanya. "Kukira kau menghilang lagi, Nak! Ikuti aku! Kita akan pergi ke--"
"Um, Professor," potongku. Aku menarik lengan bajunya, "Bisakah kita bicara sebentar? Ada yang ingin kubicarakan dan uh ... berdua," bisikku.
Profesor mengerjap, "Ada apa?"
Aku tidak yakin jika harus memberitahukannya disini. Sebagian besar karena aku ragu oleh informasi Argor, dan mungkin, karena aku tidak ingin membicarakan ini didepan Alledrein.
Tapi aku seharusnya ingat orang macam Profesor ini, dia bahkan tampaknya tidak menyadari maksudku. Dengan wajah terkejut, dia berteriak dan mencengkram bahuku panik. "K-kau bertemu dengan Argor?! Bagaimana bi--"
"Profesor!" Kenapa Profesor harus membaca pikiranku diwaktu yang tidak tepat?!
Profesor refleks menutup mulutnya. Bagaimanapun, aku tidak bisa berbalik dan menghadap tiga orang dibelakangku. Terutama Alledrein, ia kemungkinan tahu siapa orang yang Profesor maksud. Aku meringis dan mengutuk Profesor dalam hati.
"O-oh! Yah, bukankah kita ada urusan, Nak? Ayo ..." Disaat Profesor kelabakan dan mencari alasan untuk pergi darisana bersamaku, sayangnya, sebuah pedang terarah pada leherku dari belakang dan aku tahu siapa orang itu saat meliriknya.
Tuan Charles, namun sorotan tajam dari Jenderal dibelakangnya membuatku terdiam.
"Theressa, jika kau tidak ingin dianggap sebagai mata-mata ataupun pengkhianat, kuharap kau menjelaskan semuanya pada kami maksud dari ucapan itu," ucap Tuan Charles dengan senyuman, meskipun aku tahu jika situasi ini tidak semenyenangkan itu.
Aku mengangkat kedua tanganku, menghela nafas, menatap Profesor jengkel lalu menggerutu. "Saya tidak punya niatan jahat, jadi tolong turunkan senjata anda, tuan. Bagaimanapun saya harus mengatakannya."
Tapi Tuan Charles tetap mengangkat pedangnya, sebelum akhirnya Alledrein membuka suaranya. "Hentikan itu dan ikuti aku. Kau harus menjelaskannya, bukan?"
Aku perlahan berbalik saat Tuan Charles menurunkan pedangnya. Namun, aku tidak bisa melihat ekspresi Jenderal itu disaat ia berjalan pergi membelakangiku. Aku melihat Tuan Charles mengangguk padaku dan memberi isyarat agar aku mengikutinya.
"Uh, baik ..."
"Yah, aku juga ingin mendengar hal itu, Nak. Ini tidak buruk, bukan?"
Aku menginjak kakinya dengan kesal sampai membuat Profesor terpekik kaget.
"Ack! Jangan marah, aku tidak sengaja ... . Lagipula itu bukan masalah besar, bukan? Kau hanya perlu pergi menemui teman masa kecilmu dan menjelaskan semuanya," ucapnya begitu enteng lalu mengedikkan bahunya.
Tentu itu masalahnya. Aku ingin menghindarinya!
Mengabaikan rengekannya, aku berjalan dibelakang mengikuti kedua orang itu. Aku berhenti sejenak saat ingat sesuatu dan melirik seseorang yang berjalan disampingku. Surai putih dan manik biru. Hah, dia sudah tumbuh lebih cepat dari dugaanku, remaja dan aura yang berbeda. Yah, meskipun tingginya masih setinggi bahuku.
"Nor--"
Tapi sebelum aku memanggilnya, ia tiba-tiba membuang muka dan tak menatapku.
Ada apa dengan anak ini?
Kami sampai disebuah kereta kuda yang biasanya digunakan untuk bangsawan menengah atas. Dan dibelakangnya, ada kereta kuda pembawa persediaan. Sungguh, memangnya kita mau kemana?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Eternity | Book II : Epilogue
Fantasía[High Fantasy : Book II] "War, blood and love." •Epic fantasy, adventure, kingdom, magic, action• 3 tahun telah berlalu sejak penyerangan terhadap kerajaan Ruides dan kepergian Theressa Reis dari kekaisaran Arburght. Kini, gadis itu kembali dengan e...