Chapter 19 - A Nice Guy

2.7K 389 40
                                    

-Julie-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Julie-

"Dulu, miss biasanya menjahit dua sampai tiga sepatu dalam seminggu, tapi tergantung season serta pertunjukkannya. Harus punya sepatu yang berbeda tiap pasangnya, the harder and softer shoes. If there's a lot of allegro*, you'll definitely want to wear softer shoes. Tapi, untuk gerakan yang lebih tenang, low, sepatu yang lebih keras akan lebih baik," tuturku pada murid-murid, sembari menjahit ujung sepatu setelah mengupas sedikit alasnya.

Aku sedang mengajar anak-anak yang berhasil mencapai grade 4. Kami sedang belajar Pointe Work, exercises yang menggunakan sepatu pointe. Di sekolah sedang close untuk kelas anak-anak pre-ballet dan pre-primary. Alasannya, selain sepi pendaftar, Alia ingin fokus ke kelas general graded, dan vocational graded, agar mereka mendapat materi dan bekal yang cukup untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih profesional.

Kulihat murid-muridku tampak memerhatikan dengan seksama gerakan tanganku yang kini mengetuk-ngetuk ujung sepatu dan melenturkannya.

"Some people go through many, many trials. So it's quite rare to find a shoe you like so much that early on. Miss ingat banget waktu pertama kali en pointe, rasanya kuku jari miss menggali sampai ke dasar lantai, and thinking, 'oh my God, what have I gotten myself into?'."

Sebagian dari mereka terkekeh dan meringis.

"Ketika kalian sudah membulatkan tekad untuk menjadi penari balet, kalian harus berani menahan rasa sakit dan terbiasa dengan itu. Coba lihat jari kaki miss. What do you think?"

Salah seorang anak yang bernama Clara menjawab, "Ugly?"

Aku tersenyum sembari mengedipkan mata. "Exactly. Mungkin kaki kalian akan merasa melepuh di awal, tapi setelah bertahun-tahun dengan banyaknya latihan dan kekuatan, kaki kalian akan terasa mengeras dan terbiasa. So, when you get perfect balance, it just feels amazing."

Kupasang sepatu yang sudah kupermak ke kakiku dan mengikatnya, setelah itu berjinjit dan melakukan arabesque**.

"Oke, cukup," ucapku lagi menepuk kedua tangan. Murid-muridku bangkit memposisikan tubuh tegak, refleks mereka hormat dengan sedikit membungkuk, dan menekuk kaki.

"Thank you, Miss," ucap mereka serentak disusul dengan suara tepukan tangan.

"Good job girls, thank you."

"Thank you," balas sebuah suara lelaki yang membuatku memutar bola mata ketika melihat sosoknya dari pantulan cermin yang menempel di seluruh dinding ruangan.

Keenan berdiri menyandarkan sisi tubuhnya ke daun pintu. Bu Kirana mengajakku bertemu untuk makan bersama di restoran milik Keenan. Tapi, aku tidak tahu kalau Bu Kirana menyuruh anaknya itu untuk menjemputku, atau memang ini adalah ide lelaki itu, mengingat dirinya semakin percaya diri saja untuk gencar mendekatiku sejak kejadian di pesta Natalie.

Shitty SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang