: Pasar Sentral

340 100 22
                                    

- ©gladiolamorly -

- ©gladiolamorly -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

Ada sebuah cerita klasik di tanah yang dipijaki seorang lelaki berkulit sawo matang dengan rambut serupa rambut jagung ini. Tentang bagaimana satu diantara sekian ribu kilometer wilayah Sulawesi Selatan dinamai, 'Wajo.' Orang-orang tua yang tak lebih tua dari usia bangunan-bangunan sakral di beberapa sudut Kota, mengatakan bahwa nama Kabupaten ini artinya bayang-bayang.

Kemudian orang tua yang entah kapan terakhir kali mengecat rambut berubannya, mengatakan bahwa berkembangnya Kabupaten ini dari masa ke masa, dilatarbelakangi oleh sebuah kisah. Dan sepertinya, pemuda berdarah bugis asli itu lebih condong ke pendapat golongan tua yang lebih tua dan benar-benar tua. Alias, sebagai pemuda dengan hobi membaca buku yang sembilan puluh sembilan persen khayalan dan sisanya bualan, dia jelas mempercayai kisah klasik itu.

"Dulu sekali, ada seorang putri yang sangat cantik. Namanya, We Tandampalik."

"We?"

"Artinya, putri."

"Terus?"

"Sepertinya aku harus kembali ke masa lalu. Masa dimana kisah ini, masih diramu penciptanya."

"Loh? Ngapain, dik?"

"Ini loh kak, mau ngubah nama putrinya jadi Nawawumi Deanara. Soalnya cantik juga."

Yang berada di sela-sela jemari Si manis berkulit cokelat, memberontak kecil. Itu milik seorang gadis bersurai pendek sebahu. Ada semburat yang lebih jingga dari langit kota ini saat senja hari, di setengah bagian wajahnya. "Duh, kamu problematik, dik. Kamu ada niat mendistorsi sejarah?"

Ia terkekeh kecil, mengeratkan genggamannya. Bagaimana ruas-ruas itu saling mengunci, membuat puluhan netra menatap iri kemudian berlalu dengan mulut bergerak-gerak. "Bukan begitu, dik. Tapi iya juga ya? Nggak jadi, berdosa. Eh, tapi kan dik, ini cerita rakyat. Bukan sejarah."

"Terserah kamu deh, Hadyan. Lanjut cerita aja, jangan aneh-aneh."

"Nanti saja, dik. Kamu fokus lihat-lihat saja dulu. Rekam suasananya di memori kepala kamu, pelajari detail-detailnya. Semua yang kamu lihat disini, bisa jadi bahan tulisan."

Ia yang menuntun jalan, menghentikan langkah secara mendadak. Sebelum ia yang dituntun jalannya bertanya tentang mengapa mereka berhenti di depan jejeran kios pedagang buah-buahan dan menghirup aroma pepaya masak dari sana, bibirnya terbuka. "Di depan ramai." Setelah nya, ia merentangkan kaki hingga posisi tubuhnya berada di depan punggung si gad—Nawa. Lalu lagi-lagi, sebelum Nawa bertanya-tanya atau menoleh, ia menyambar pelan ransel berbahan kulit yang menggantung disana.

SengkangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang