: Prolog

544 135 41
                                    

- ©gladiolamorly -

- ©gladiolamorly -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

Dia pernah menahan seorang tamu di tempat yang ia sebut rumah ini, dengan memeluknya tanpa jeda.

Katanya, "Kota ini terlalu indah untuk kamu tinggalkan, Nawa."

Lalu katanya lagi, "Saya ingin mencintai kamu, hingga cerita tentang kita diceritakan oleh beribu-ribu generasi. Seperti Batara Guru dan We Nyiliktimo, namun tanpa selir."

Tak habis-habisnya dia bersuara tanpa getar. Mengatakan bahwa dia mencintai gadis pendatang, seorang pemimpi yang ingin sekali menulis kisah cinta. Karena konon, setiap penulis yang sedang jatuh cinta akan menjadi orang gila. Tanpa sadar dia akan membodohi diri dengan ratusan syair-syair bahkan tanpa rima, asal dunia tahu bagaimana cara dia, 'mencintai.'

Dengan bahasa ibu, ia mengatakan itu. Satu kata yang membuat keningnya terlipat sebelum ia menjelaskan artinya.

"Upojiki. Namo taggiling lino e, na monri yase' i tana wakkaleccakeng e, tetteki upoji."

"Artinya?"

"Saya suka kamu. Dan, maaf. Saya tidak akan mengartikan beberapa kalimat setelah itu."

"Kenapa?"

"Alay."

Tersungging gurat getir di sudut bibirnya. Sekelebat yang lalu itu, membuat kepalanya terasa berat sebelah.

Lalu, setiap penulis yang patah hati, akan menjadi orang mati. Jiwanya. Karena tanpa raga, tak akan ada 'seonggok' gadis yang menumpukan kepalanya di kaca jendela mobil. Dalam terminal setengah sepi, di segmen khusus roda empat yang hendak keluar kota. Matanya terpejam. Karena ia tahu, jika ia membukanya, ia mungkin akan menemukan sosok tinggi yang gemar sekali tersenyum, dengan kaos hitam longgar barangkali tengah berdiri putus asa diluar sana.

Sebab, sebelum dia berkeras hati meninggalkan kota kecil ini, sosok itu lagi-lagi hendak memenjarakannya dalam dekap tak berkesudahan. Lalu pada akhirnya juga ia menyudahinya dengan satu kecupan lembut, sekilas. Benar-benar sekilas. Cepat sekali. Enggan berlama-lama, karena pemilik mata sayu itu sebenarnya pemalu.

Dia sempat gagal untuk pergi. Sempat ingin menetap bersama pria yang membuat kacau tiap-tiap bait tulisannya. Tiap-tiap gores yang ia torehkan dalam buku besar bersampul cokelat lusuh, seperti kalimat 'nyata' seseorang yang sedang tertidur, sebab dia larut dalam mimpi.

Gaung-gaung suara berat seorang pria setengah baya yang ternyata menjadi alasan lelaki muda itu memiliki rahang teramat tegas, semakin hebat di dalam sana. Jelas membuat kerangka dialog-dialog manis para tokoh fiksi yang hendak ia tulis, kalah. Maka sebelum ia memaksa 'seonggok' daksa itu menarik diri, ia hadiahkan kecupan yang lebih lama. Sebab, pemilik lesung di bawah mata itu sama sekali bukan gadis pemalu.

"Jangan tulis kisah kita, Nawa."

"Sebab?"

"Kamu akan menggenggam pena-mu seperti menggenggam tangkai mawar."

"Sebagian penulis gemar melukai dirinya sendiri, Hadyan. Beberapa kisah yang melegenda, lahir dari penulis yang sedang marah, kecewa, dikhianati, atau terluka."

"Maka kamu harus menjadi sebagian yang lain. Jangan membuat ribuan remaja ringkih menangisi kisah kita. Sudah terlalu banyak kisah yang konfliknya ialah berbeda lantas berpisah, namun tetap juga ia ditangisi."

Ia tersenyum dengan garis mata menukik ke bawah. Lesung manis itu tak terlihat di tempat yang seharusnya. Tanda ia terlalu memaksa untuk tersenyum. Sebelum bahu cantik itu memalingkan porosnya dari sosok yang terlalu tidak mungkin ia lupa, bibir tipisnya mengucapkan sesuatu.

"Saya pergi, Hadyan. Besok-besok jangan pernah menginjakkan kaki ke toko buku."

.
.
.
.

Tanah Wajo, 20 Juli 2022

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tanah Wajo, 20 Juli 2022.
Bilik putih.

SengkangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang