: We Tandampalik

187 83 12
                                    

gladiolamorly-

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

Sejak bibir Nawa secara gamblang, mengatakan bahwa ia akan menciumnya di semak-semak belakang rumah Josi, tubuhnya memproduksi lebih banyak keringat, secara misterius. Ia belum pernah merasakan bulir keringat merayap di punggungnya. Seolah 'mereka' memiliki kaki mikroskopis seumpama kutu di kulit kepala.

Lalu seolah tak pernah terjadi apapun sebelumnya, Nawa mengeluarkan buku folio bersampul batik cokelat muda dari dalam ranselnya. Hadyan juga sempat melihat, gadis itu menekan tombol record pada aplikasi perekam suara di ponsel.

"Cerita, dik."

Nawa tersenyum lebar. Ia berpindah posisi duduk sejak Hadyan sibuk memperbaiki kekacauan kecil di atas meja. Kini, ia berada di depan lelaki itu, menantikan sesuatu keluar dari bibirnya, sambil memainkan tombol kecil di pulpen mekanik empat warna. "Hadyan, ayo!" Desaknya.

Hadyan menghela nafas. Beranjak sedikit, memperbaiki posisi lubang kursi plastik seragam sejuta warung yang semula ia duduki, agar pas di pantat. Memberi ruang untuk keluar-masuk udara. Karena konon, fungsi lubang di tengah pada jenis kursi plastik seperti ini, memang begitu. Udara yang terperangkap di antara pantat dan kursi tanpa lubang, menciptakan pengap yang sama sekali tidak ada rasa nyaman-nyamannya. Pantat dan kursinya akan sama-sama panas. Maka setelah dirasa pas, Hadyan kembali duduk.

"Silahkan, dik. Saya sudah menunggu terlalu lama." Nawa kembali menekan sebuah tombol, untuk merekam suara di ponselnya. Sebelumnya telah ia tunda saat Hadyan sibuk berkutat dengan kursi plastik, dan menjadi tontonan gratis bapak-bapak berkaos, 'Polo' lusuh yang tengah asyik makan di pojok seberang. Tepat di bawah kipas angin.

"Baik, dik." Hadyan melipat tangannya di depan dada. Sistem kerja kelenjar keringatnya sudah mulai normal. Bulir-bulir yang semula merayap seperti kutu, lenyap. Semuanya telah menguap saat melihat pendar indah di mata Nawa. Walau sebenarnya bola mata jernih itu menampilkan bayangan wajahnya. Tapi, berkaca di mata Nawa membuat semangat mendongeng-nya berapi-api.

"Konon, ada seorang Putri di Tanah Luwu yang kecantikannya terkenal di seluruh negeri. Pria yang mendengar namanya disebut, akan langsung berbinar wajahnya. Tadi udah sempat aku ceritain sekilas kan?"

Nawa terdiam sejenak. Mengingat-ingat. "We Tandampalik?"

Hadyan menjentikkan jari. "Pinter! Kamu tahu nggak? Yang belum pernah bertemu langsung dengan Sang Putri, juga percaya bahwasanya, beliau memang cantik. Orang-orang jaman dahulu percaya, bila kabar dari mulut ke mulut telah singgah di banyak telinga, maka itu benar adanya. Apalagi kalau sumber kabarnya masih dari pihak kerajaan atau para bangsawan."

"Secantik itu?"

Hadyan mengangguk mantap. "Aku sudah membaca cerita ini dalam beberapa versi, Nawa. Semuanya sama-sama mengatakan, bahwa We Tandampalik memang cantik. Tapi, di suatu pagi yang cerah, secara misterius kulitnya digerogoti penyakit mengerikan. Tadi sudah aku bilang, cerita ini punya banyak versi. Kelemahan cerita rakyat yang konon katanya benar, memang rentan di modifikasi oleh siapa yang menulisnya kembali. Ada beberapa versi yang menjelaskan penyebab penyakit kulit We Tandampalik."

SengkangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang