Episode 1

62 12 0
                                    

1st POV.

'Hari yang cerah ya...' batin seorang gadis cilik menatap langit dengan mata polosnya. Diam-diam ia mendengar suara musik yang ceria. Ala suara seruling khas dengan nadanya yang girang.

Namun, ketenangan dirinya terganggu ketika sepasang tangan raksasa menutupi matanya. "(Y/n) apa yang Papa bilang soal menatap langit dengan mata telanjang?"

(Y/n) hanya menatap wajah sang Papa dengan matanya yang bulat dan jernih. Lalu dengan santainya tertawa senang tanpa alasan yang jelas. "Aduduh, bidadari kecilku ini." Sang Adam pun menggendongnya, lalu mengusapkan hidungnya pada sang balita.

"Kyahaha!!"

"Hahahaha~!"

"Anata."

"Maaf, (Y/n) lagi-lagi termenung melihat langit."

"Aduh, si kecil ini. Manja sekali kepada Ayahnya. (Y/n) tidak ingin Ayah pergi berlayar, ya?" Tanya sang Ibunda tersenyum lucu.

"Tentu saja. Cinta pertama setiap anak perempuan, 'kan, Ayahnya. Iya, 'kan (Y/n)?" Namun hanya dibalas oleh tawaan lucu oleh balita perempuan itu.

"Hahahaha~!" Tawaan imut itu kini bersahut-sahutan. "Dan cinta pertama setiap anak laki-laki adalah ibunya, benar, 'kan? Tsubasa-kun?"

Tuk.

Bola hitam putih itu menggelinding dari tangan Tsubasa. "Kyaoo~" dengan bahasa tubuhnya, Tsubasa berusaha menggapai bola itu sambil tertawa.

"Ha'i, Ha'i. Hati-hati ketika mengejar bolamu, Tsubasa. Mainnya jangan terlalu jauh, ya." Bukannya menjawab, bocah cilik itu hanya tertawa sambil berlari imut mengejar bola nya.

"Ya ampun, hiperaktif sekali anak itu. Ngomong-ngomong, Anata, apa barang-barangmu sudah lengkap?" Tanyanya beralih kepada sang suami, Kodai Ozora.

"Tenang saja, semuanya sudah terkendali." Ucapnya mengusap bahu sang istri, Natsuko Ozora.

Mendengar suara tawa yang familiar, mereka menoleh. Terlihat Tsubasa yang memeluk setengah dari bola sepak itu dengan senyum yang mengembang.

"Ya ampun .... Hanya memegang bola saja dia sudah sesenang itu, ya."

"Benar sekali."

Lalu mereka meninggalkan anaknya bermain sejenak untuk menaruh barang-barang milik sang Papa ke dalam Taxi.

Namun sayangnya, bayi kecil Tsubasa terjatuh saat bola sepaknya yang besar kembali menggelinding. Ia menatap bolanya yang berjalan jauh menuju jalan raya. Dengan hati-hati, Tsubasa berdiri dan berjalan lagi mengejar bolanya.

Pak, anaknya, pak-

"Dalam perjalanan terakhirku di laut ini, Tsubasa dan (Y/n) sudah berumur dua tahun, ya."

"Jangan sampai lupa, ya."

Pasutri ini lagi mesra-mesranya.

"Kali ini kalian takkan menangis, ya." Ucap sang Ayah menatap (Y/n). Melihat ada yang tak beres, pria itu mengikuti arah pandang (Y/n).

Mendapati area yang kosong, sang Ayah panik.

"Sial- anak gw ilang!-"

.... Piiip ....

Mendapati area yang kosong, sang Ayah cemas. "Hei. Di mana Tsubasa?" Natsuko menoleh. "Eh, padahal tadi dia ada di sana ...."

"Kalau dia sendirian mengarah ke jalanan, bahaya, lho!"

"Tsubasa!"

Anaknya sendiri tersenyum tanpa dosa mengejar dan menggapai bola besarnya sambil tertawa. Sampai akhirnya terdengar suara klakson truk hijau legendaris yang akan segera menabrak Tsubasa. Membuat kedua orang tuanya semakin panik.

Tolong, pak!

Seketika (Y/n) diberikan (baca: lempar) kepada Natsuko, dan Kodai berlari mendekati Tsubasa Ozora. "Tsubasa!"

Ya, Tsubasa Ozora, Kapten kesayangan kita dari jaman oek oek.

....

Perkenalkan namaku (Y/n) Ozora. Kakak kembar dari Tsubasa Ozora, kapten tim terkenal asal Nankatsu itu.

Aku dulunya bernama Nam Ji Kyung. Blasteran Jepang-Korea. Ayahku berasal dari Jepang, sementara Ibuku Korea. Sejak lahir aku tinggal di Korea. Aku tidak pernah mengenal lebih jauh mengenai negara asal bunga Sakura ini.

Karena saat aku ada di dalam kandungan, Ayahku telah meninggal ketika berlayar kembali ke Jepang. Karena itu jugalah aku tidak pernah menemui makam Ayahku di Jepang.

Ibuku sendiri menjadi pribadi yang kasar (karena galau terus menerus), akhirnya dia menitipkan ku pada kakek nenek sebulan setelah aku lahir. Lalu dia tak pernah kembali lagi.

Singkatnya, aku yatim piatu. Ibuku tak pernah mengunjungiku, maupun menanyakan kabar sama sekali. Keberadaannya lenyap tak tersisa.

Akhirnya aku sekolah dibiayai oleh uang pensiunan kakekku. Sementara uang nenek digunakan untuk kebutuhan lainnya.

Terakhir kali aku mendengar kabar ibu sebelum mati, adalah ketika aku menginjak bangku SMP. Ternyata selama ini, ibuku menikah kembali dengan orang Belanda, dan hidup bahagia di sana.

Meski begitu, aku tidak pernah menemuinya. Karena aku mendengar informasi ini ketika ia menjadi korban kecelakaan pesawat bersama satu keluarganya. Miris ...

Lagi-lagi, aku tak bisa menyaksikan pemakaman orangtuaku.

Mungkin karena itulah, aku menjadi pribadi yang sedikit tertutup. Menjadi seseorang yang sosiologisnya baik membuatku trauma karena faktor orangtuaku. Aku selalu ragu untuk bertemu orang baru selain nenek dan kakek.

Beruntunglah, otak jenius turunan Ayahku tetap berfungsi. Berkat itu aku bisa menjalani hidup dengan bantuan beasiswa pemerintah.

Faktor, kenapa aku bisa mati?

Hm, berawal dari kesenanganku yang bisa mengunjungi negara bunga sakura, tempat dimana Ayahku (juga idola 2d-ku) berasal. Meski hanya program pertukaran siswa SMA kelas 2 selama sebulan, aku tetap bahagia.

Sayangnya, seminggu aku berada disana, aku tertampar berita kematian kakekku yang telah menyusul nenek yang pergi setahun lalu.

Karena satu-satu nya keluarga ku telah tiada, aku merasa kesepian. Tidak ada lagi orang yang bisa bertukar surel denganku.

Karena suasana hampa itulah, aku sering melamun. Lalu tak sengaja terperosok petron kereta bawah tanah, di Jepang.

Awalnya rasanya lega. Seluruh beban hilang walau rasanya sakit sekali. Karena setelah ini aku akan bertemu Ayahku yang dibilang orang sangat ramah dan pribadi yang jujur itu.

Ternyata aku kembali lagi di dunia ini, sebagai tokoh anime, yang bahkan aku ragu sebenarnya ada atau tidak.

Yah... Mari kita jalani saja hidup ini. Setidaknya aku bersyukur bisa memiliki keluarga yang utuh. Walau tidak ada kakek dan nenek yang menemani.

Ya, bersyukur diberi kesempatan untuk bernafas lagi.

Skip Class (Acceleration!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang