Rey POV
Gue gak tau kapan gue suka sama Devan. Tapi, gue ingat awal pertemuan gue sama dia. Waktu SMP, beberapa kali Devan terlihat ngejemput Devina.
Devan sama Devina beda sekolah saat SMP. Devan terlihat acuh, dan gue berpendapat tentang Devan yang malas bersosialisasi.
Beberapa kali juga gue kerja kelompok di rumah Devina dan melihat Devan yang melewati kami dengan cuek dan tanpa mau melihat siapa saja teman saudara kembarnya.
Tahun ke tahun berganti, gue sadar kalau gue suka sama Devan entah karena apa. Padahal interaksi aja jarang diantara kami. Bukan jarang, sih. Lebih tepatnya tidak pernah, tidak pernah sekalipun jadi tidak ada kata jarang.
Lalu, gue gak pernah menduga kalau gue bakal satu kampus sama Devan juga jadwal dan kelas banyak yang sama. Gue cuman bisa memperhatikan dari jauh.
Ingin mendekati tapi gue takut dia risih. Sejauh ini cuman Jian sama Rian yang bisa jadi teman Devan. Gue juga mau temenan sama Devan apalagi dekat sama dia, kalau bisa lebih dekat sampai ada status selain teman lah ya.
Hingga, sampai dimana bunda gue ngasih kabar kalau dia mau jodohin gue sama Devina. Demi apa, gue gak setuju dan mau nolak.
Gue sama Devina sepakat buat ketemuan di cafe untuk pdkt walau gue tau kami sama-sama gak minat. Saat gue sudah di cafe, gue melihat sekilas wajah yang gue kenal dan langsung menghampirinya.
"Lo Devina, 'kan?" secara spontan dia berbalik dan melotot horor ke arah gue yang ngebuat kening gue mengernyit.
Namun, gue rasa ada yang berubah dari Devina. Mata Devina yang mirip kayak Devan, terus tinggi dan badannya. Gue merasa melihat Devan, bukan Devina.
Cara bicaranya juga lain. Dan gue mengerti disaat Bunda ngajakin gue sama Papah ke rumah teman bunda yang ternyata adalah rumah keluarga Devan.
Nyatanya adalah mata, tinggi badan, dan badan Devina masih sama. Gue menyimpulkan kalau Devan waktu itu nyamar jadi Devina. Gue gak tau alasannya apa. Tapi gue beruntung dapat melihat Devan versi cewek.
Gue belok atau gay, itu karena ulah Devan dan cowok yang gue sukai sekarang harus tanggung jawab dan harus sama gue.
Gue bakal ngejar dia sampai kapan pun, walaupun juga dia sudah menikah atau apalah, gue tetap ngejar dia sampai dia jadi milik gue.
Sekarang dia lagi bantuin gue ngangkut barang dari kamar ke mobil gue. Agak kasihan sama dia yang kayaknya kesusahan ngangkut barang gue.
"Sisanya biar gue aja, lo masuk ke dalam mobil duluan aja." gue mentitah dia.
Tanpa mau mengeluarkan suara, dia cuman ngangguk dan ngikutin titahan gue. Gue masih inget kalau Devan bukan tipe orang yang banyak bicara. Gue pernah bertanya, kok gue bisa suka sama dia ya? Padahal dia irit bicara, cuek, gak peka.
Setelah selesai ngangkut barang, gue langsung masuk mobil dan tancap gas menuju ke kost Devan.
Gak ada yang ngomong. Gue kek lagi nyetir sendirian padahal gue bawa orang. Lo orang atau setan, sih? Untung gue suka!
"Lo punya gebetan?" tanya gue memecahkan keheningan diantara kami.
"Hah?" Devan habis ngelamun, dan dia kebingungan.
"Lo punya gebetan?" ulang gue dengan santai meskipun dalam hati gue heboh berdoa supaya jawaban Devan dia gak ada gebetan.
"Enggak." dia ngejawab singkat. Kapan sih kita bisa dekat? Boleh gue perkosa gak, sih?
"Lo sendiri?" gue senyum simpul, ngelirik dia sebentar terus balik fokus ke jalan.
"Ada," jawab gue sambil tersenyum. Dia melihat ke arah gue. Kayaknya dia kebingungan sama senyuman gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kejar
RandomDevano atau kerap dipanggil Devan, awalnya membantu kembarannya Devina untuk membuat orang yang akan dijodohkannya ilfil malah membuat laki-laki bernama Rey mengejar Devano. "Kok gua, sih? mending sama Devina!" -Devano "Gak, gue sukanya sama elo, De...