Studio

1K 18 0
                                    

|| Rama's POV

Aku dilema. Aku tak ingin mempunyai relasi dengan orang kaya, terlebih relasi asmara. Tapi Haris berbeda. Tingkah konyolnya selalu berhasil membuatku tertawa meski kadang menjengkelkan. Haruskah aku menyudahi hubungan ini?

Aku tahu bahwa hubungan kami hanyalah sebatas FWB. Namun aku ingin melanjutkan hubungan ini hingga akhir hayat kami. Bukan berarti aku mengincar hartanya, tetapi aku terlanjur nyaman dibuatnya.

Andai saja masa lalu itu tak terjadi, mungkin aku baik-baik saja dengan Haris. Dan mungkin aku baik-baik saja dengan status sosialnya. Aku tak ingin nasibku berakhir tragis seperti nasib orang tuaku. Sial, aku teringat kejadian itu lagi.

Entah apa yang akan terjadi, tetapi diriku masih memendam ketakutan terhadap orang kaya. Ini aneh, tetapi aku benar-benar mengalaminya.

Kini, aku dihadapkan oleh dua pilihan yang saling bertolak belakang. Aku ragu dapat melanjutkan hubungan ini meski aku mulai nyaman dengannya. Di sisi lain, aku tak bisa membohongi ketakutanku sendiri.

***

|| Author's POV

Rama frustasi dan gundah dengan hatinya sendiri. Tak ada sedikit pun niat untuknya melanjutkan lukisannya yang hampir selesai. Ia tinggalkan kanvas dan peralatan lukisnya di meja kerjanya. Badannya lengket oleh gravitasi kasur yang begitu kuatnya.

"Sayang, kamu sakit?" tanya Haris yang khawatir karena Rama hanya berbaring di kasur dan menatap kosong gawainya.

"Tidak apa, sayang. Aku baik-baik saja," balasnya menyembunyikan rasa yang sebenarnya.

"Kenapa dua hari ini gak lanjutin lukisannya? Apa ada masalah? Mau cerita ke aku, gak?"

Mana mungkin Rama menceritakan perasannya yang sebenarnya pada Haris. Jadilah ia mengarang tentang masalah yang sedang ia hadapi. Ia pilih masalah seniman yang paling klasik: Jenuh.

"Cuma jenuh aja, sayang. Gak kenapa-kenapa, kok."

"Beneran?" timpalnya.

"Beneran. Aku sehat-sehat aja, kok. Kamu gak usah khawatir, ya," balas Rama.

"Sayang, kamu butuh pelukan gak?"

"Sini, sayang," balasnya sembari membuka selimut.

Haris pun beranjak ke atas ranjang dan memeluk Rama dari belakang. Kehangatan menyelimuti keduanya. Dan Haris dapat mencium bau parfum yang dikenakan oleh senimannya.

"Misal aku mulai bikin patung dan nantinya bikin pameran, kamu mau collab, gak? Jadi kita bikin pameran patung dan lukisan, gitu. Seru, ya..."

"Hmm... Iya, pasti menyenangkan bisa bikin pameran."

***

|| Haris's POV

Rama membuatku termotivasi untuk berkarya. Tetapi tidak mungkin bila aku menjadikan rumahku sendiri maupun rumah Rama sebagai studio patung. Aku butuh tempat yang luas dan nyaman.

Aku pun segera membuka gawai dan melihat-lihat properti yang seandainya saja bisa aku gunakan sebagai studio patung. Tetapi aku tak mempunyai keahlian di bidang ini.

Akhirnya aku memutuskan untuk meminta bantuan ke manajer investasiku untuk memilihkan properti untuk dijadikan studio. Harta mendiang nenekku aku percayakan pada sebuah manajer investasi.

Di sana juga disediakan layanan seperti ini. Dan ini kali pertama aku menggunakan layanannya. Aku ceritakan berbagai kriteria studio yang aku inginkan. Mereka menyanggupi akan membereskannya dalam waktu sekitar tiga minggu atau lebih cepat dari itu.

***

|| Author's POV

Seminggu berlalu dan Haris belum mendapatkan berita tentang studionya. Dua minggu berlalu, dan di minggu ketiga, ia menerima sebuah pesan. Pesan itu berisi foto sebuah bangunan yang tak jauh dari rumahnya.

"Hmm... Menarik..." ucap Haris.

Singkat cerita, setelah melewati berbagai proses administrasi, kini Haris memegang sertifikat tanah dan bangunan yang akan ia jadikan studio. Ada dua bangunan yang ia bidik. Satu untuknya, dan satu untuk Rama.

"Sayang, aku mau ke sini, ya," ucap Haris kepada Rama sembari menunjukkan titik-titik di Google Maps.

"Iya, boleh. Mau ke sana sama siapa?" balasnya.

"Sendirian, naik ojol," timpalnya.

"Biar aku aja yang antar kamu," ucap Rama.

"Oh, begitu... Oke..."

***

Sesampainya di sana, terlihat dua bangunan tua yang saling bersebelahan. Haris mengajak Rama masuk dan melihat-lihat kondisi kedua bangunan itu.

"Kamu mau ngadain pesugihan di sini, ya?" tanya Rama.

"Hah? Ngawur kamu. Ya nggak, dong," balas Haris.

"Bangunan serem gini, mau diapain?"

"Mau dibuat studio patung sama studio lukis. Studio patung buat aku dan studio lukis buat kamu, sayang."

"Hah? Kenapa buat aku? Kali ini aku gak bisa nerima pemberian dari kamu. Aku gak mau," kata Rama.

"Gak bisa gitu, dong. Kan di perjanjian bilang kamu gak bisa menolak pemberianku," balasnya.

Rama menghela napas sejenak dan berkata "Haris, aku ini lebih tua dari kamu, tapi malah kamu yang ngasih ini semua ke aku. Udah cukup, sayang. Pemberian kamu itu udah jauh dari cukup."

"Hei, kata siapa harus kamu yang ngebiayain aku? Aku bikin dua studio ini biar kita bisa kerja bareng dan pulang bareng. Masih di perjanjian, aku kan minta kita berkarya bersama."

"Haris..."

"Gini. Aku pengen berkarier dan berkarya sama kamu, sayang. Aku pengen mendukung karier kamu."

"Tapi ini terlalu berlebihan, Haris. Kamu bahkan lebih peduli sama hidup orang lain daripada hidupmu sendiri?"

"Terus kenapa?" bela Haris.

"Gimana semisal setelah semua ini, aku malah kabur dan mengkhianati kamu? Kamu bakal kehilangan banyak hal. Kamu terlalu muda untuk mengerti kejinya dunia ini."

"Emang kamu bakal mengkhianati aku? Aku percaya sama kamu, Rama. Gak mungkin kamu mengkhianati aku."

"Haris..."

Benar apa yang dikatakan oleh Haris. Mampukah Rama berkhianat bila hatinya sudah merasa dekat? Berpikir untuk kehilangan Haris saja tidak kuasa ia lakukan. Berkhianat? Tidak mungkin.

Rama kalah dalam perdebatan dan Haris memeluknya erat. Melalui pelukannya, Haris menguatkan Rama. Mungkin, untuk sebatas FWB, ini terlalu berlebihan. Tetapi Haris yang memendam rasa cinta melakukannya dengan tulus.

"Kamu percaya aku?" tanya Rama.

"Iya, aku percaya."


---

Yeay, update lagi. Full version bisa dibaca di karyakarsa @niacimide ya guyss. Baca cerita yang lain juga bisa di karyakarsa. Love u~

Friends With Pak GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang