~ABG Pacaran~

62 4 0
                                    

"Istriku manggil ga sih?" Celetuk Amas langsung lari padahal ada pisang di mulutnya.

"Eh iya, ayo tak temenin takut kenapa-kenapa." Dengan panik kang Aza mencuci tangannya. Begitupun dengan mas Ahsa.

"Eh jangan-jangan. Istriku kalo pagi-pagi malas make hijab." Amas yang tadinya udah mau masuk gerbang langsung balik badan mencegah para bapak-bapak untuk masuk ke rumah.

Akhirnya keempat pasutri itu balik ke rumah mereka masing-masing. Sedang Amas berlari menemuiku yang sedang kesusahan menjemur selimut. Dia terlihat tergopoh-gopoh dengan nafas naik turun. Aku heran saat melihat penampilannya yang acak-acakan gini.

"Kenapa? Kamu kenapa? Ada yang luka?" Tangan Amas memutar-mutar badanku seolah sedang mengecek.

"Apa sih mas kamu tuh." Kesalku karena dia tiba-tiba bersikap aneh gini.

"Tadi aku lagi di rumahnya kang Aza terus denger kamu teriak Hun!" Amas teriak sambil mengoncang-goncangkan badanku. Ada nada kekhawatiran dari ucapannya barusan.

"Astaghfirullah, keras banget ya suaranya? Maaf." Aku beneran gak tahu kalau suaraku sekeras itu. Malu banget kalo sampai kedengaran sama tetangga-tetangga sebelah.

"Gak penting. Sekarang kamu kenapa?" Tanyanya penasaran.

"Hehe .. tolong bantu angkat selimut ini. Huna gak kuat angkatnya hehe." Pintaku takut-takut. "Maaf .. kalo kamu pingin balik ke tempatnya kang Aza lagi gak apa-apa kok. Huna bisa sendiri kayaknya hehe."

"Sekarang itu aku disini sebagai suami kamu. Kamu butuh apa aja bisa minta ke aku." Amas mencubit hidungku gemas. Dia menetralisir degup jantungnya akibat berlarian tadi. "Sini aku angkatin." Akhirnya selimutku selesai di jemur.

"Makasih." Ucapku. Jari telunjuknya menunjuk-nunjuk pipi yang ia gembungkan di sebelah kanannya. Aku bingung apa maksud tindakannya itu. "Pipinya kenapa?"

"Dasar. Ya ucapan makasihnya lah." Kesalnya.

"Iya, terus pipinya kenapa aku gak paham." Lola bener aku karena otakku gak mampu menangkap apa maksudnya. "Amas awas!"

"Innalilahi Huna!" Secara tiba-tiba salah satu dahan di pohon mangga tumbang. Dahan itu hampir mengenai Amas. Jadi secara refleks aku mendorongnya. Tapi naasnya dahan itu malah mengenai keningku. Darah keluar menetes hampir mengenai mataku. Amas yang terkejut segera membopongku masuk dan di dudukkan di kursi dapur.

"Huna tenang ya, aku ambil kunci motor dulu lalu kita ke rumah sakit." Setelah memberikan aku beberapa lembar tisu Amas hendak pergi mengambil kunci. Tapi sebelum dia beranjak segera ku tarik tangannya agar duduk di sebelahku.

"Kamu yang seharusnya tenang Amas." Senyumku mengembang agar bisa meyakinkannya kalau aku baik-baik saja. "Boleh tolong ambilin kotak P3K aja?" Tanyaku.

Amas langsung mengangguk dan berlari ke tempat kotak itu berada. Tangannya langsung membuka dan mengambil alkohol untuk membersihkan lukaku. Rasanya benar-benar perih sekali. Amas sampai ikutan meringis melihatku. Dilanjut memberikan obat merah lalu menempelkan plester disana.

"Udah beres. Sarapan yuk." Ajaknya sambil membereskan isi kotak P3K.

"Mandi dulu, baru sarapan." Tawaku lalu keluar buat nyiram tanaman. Amas mengangguk lalu siap-siap buat mandi.

"Hun, keningnya kenapa!?" Setelah aku sampai di luar mendengar teriakannya teh Salsa. Astaga mereka semua lagi pada di luar rumah. Pasti mereka dengar juga teriakanku tadi. Ternyata jatuhnya tuh dahan di keningku tak buruk juga hehe. Malu banget kalo aku teriak cuma gara-gara gak kuat angkat jemurankan? ;(

"Iya, kenapa itu?" Kang Aza juga ikut bertanya.

"Gak apa-apa. Cuma kejatuhan dahan doank tadi hehe." Jawabku.

"Tapi gak sampai pusingkan?" Tanya teh Yan lagi.

"Kalo sampai pusing mending dibawa ke rumah sakit aja Hun." Kini giliran mbak Salsa yang berucap.

"He em, ke RS aja biar diobati." Napasku tercekat ketika mas Ahsa ikutan berbicara.

"Kakak-kakak, Huna gak apa-apa kok. Tenang aja hehe." Tanganku ku lambaikan pelan dengan senyum canggung.

"Yaudah kalo ada apa-apa segera kabari ya." Ucap teh Yan.

"Iya teh. Makasih semuanya." Aku langsung mengambil selang dan mulai menyiram tanaman. Tak lama Amas datang dengan setelan kasualnya khas anak muda yang nampak seperti bocah SMA.

"Seger banget mandi jam segini tuh." Tangan Amas digosok-gosokkan agar terasa sedikit hangat.

"Itu mereka pada nyuci kendaraannya kamu gak pingin ikutan gitu?" Tanyaku.

"Ngapain? Orang kemarin udah ku bawa ke tempat cuci." Jawab Amas.

"Iddih ngeselin. Oiya Mas, sarapannya di luar aja yuk." Tawarku.

"Emm .. boleh." Amas mematikan kran air yang tadi ku pakai untuk menyiram tanaman.

"Mau kemana kalian? Kece amat kamu Am kek remaja mau nongkrong." Goda teh Yan yang dianggukin oleh semuanya.

"Biasa hari minggu, waktunya jalan-jalan lah." Jawab Amas sambil membuka pintu gerbang.

"Loh? Jalan kaki?" Tanya kang Aza.

"Ke situ doank lah kang. Ngapain pake motor segala. Ya gak Yil?" Amas merangkul bahuku layaknya teman nongkrongnya. Dia tidak tahu aja kalo jantungku sedang berdugem-dugem gara-gara sikapnya ini. Segera ku alihkan diriku pada handphonenya Amas yang sekarang sudah di tanganku. Aku membuka aplikasi ungu dimana game yang biasa kita mainkan berada.

"Kek ABG lagi pacaran gak sih mereka tuh." Tawa teh Yan sambil menyuapi MP-ASI kepada Zayana.

"Lha dua-duanyakan masih bocil." Jawab kang Aza ikut ketawa.

"Emangnya Amas kelahiran berapa?" Tanya mba Salsa.

"00 line dia tuh." Jawab kang Aza.

"Oalah dibawahku berarti." Mba Salsa mengangguk-angguk paham.

"Kelahiran berapa kamu emangnya?" Tanya teh Yan penasaran.

"97 aku teh hehe." Ucap canggung mba Salsa.

"Lah diatasku berarti. Harusnya aku yang manggil kamu mba." Teh Yan menjelaskan.

"Aku juga." Jawab kang Aza.

"Astaga aku paling tua ternyata." Semua tertawa mendengar ucapan polos mba Salsa barusan.

"Loh terus Ahsa?" Tanya teh Yan.

"98 aku teh." Jawab mas Ahsa yang membuat teh Yan dan kang Aza terkejut.

"Iya, aku sama suamiku tuaan aku." Mba Salsa tersenyum melihat mas Ahsa.

"Gak apa-apa. Umur hanyalah angka." Celoteh teh Yan yang kembali membuat ketawa semua orang.

"Waduh, berarti kalian nih yang harusnya manggil kita mbak dan mas." Guyon mas Ahsa yang semakin meriuhkan suasana.

"Iya-iya mas Ahsa." Jawab kang Aza dengan tawanya. "Oiya kalian dulu satu kelas ya?"

"Tau dari mana Za? Ceilah Za donk." Panggilan baru yang mas Ahsa ucapkan membuat geli sekaligus lucu untuk mereka yang mendengarnya.

"Aneh gak sih panggilannya. Soalnya selama disini gak ada yang manggil dia Za." Teh Yan sampai sakit perut gara-gara terus tertawa dari tadi.

"Gak papa, nanti juga terbiasa." Kang Aza menanggapi. "Lagian kan mas, kitakan satu tempat kerja. Gak mungkin dong gak ada berita-berita kek gitu tersebar."

"Waduh, anak cowok bergibah juga ya." Sindir mba Salsa.

"Jangan salah! Ghibahan cowok lebih mengerikan dari pada saat cewek ghibah tau." Teh Yan melirik kang Aza. Yang dilirik malah cuek-cuek aja gak perduli.

"Sekampus sama Huna juga kan kalian? Sebelumnya kenal dia gak?" Kang Aza mengalihkan suasana.

"Enggak/iya." Teh Yan dan kang Aza saling berhadap-hadapan bingung.

SEBAHAGIA PERIHKU (Sekuel Kisah tentang Bertetangga dengan Mantan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang