Burung Pembawa Maut
Whaaakk ... Whaaakkk ... Whaakkk ....
Hari menjelang Magrib saat aku hampir selesai memungut singkong hasil panen di kebunku.
Suara burung nyaring terdengar, membuatku jadi merinding.
Burung yang biasa disebut 'Burung Pembawa Maut' oleh masyarakat disini.
Bukan tanpa alasan para warga menyebutnya si pembawa maut, karena setiap burung itu berbunyi pasti akan disusul dengan sebuah berita kematian.Sebuah perkampungan yang masih sangat kental dengan segala mitos dan hal mistis, inilah tempat tinggalku.
"Mas, burung itu." Ucap Mira, Istriku.
Raut wajahnya berubah menjadi tegang. Tangannya tergesah memungut singkong-singkong yang kami cabut, lalu memasukannya dengan asal ke dalam karung.
"Husssttt,"
Aku menempelkan jari telunjuk ke bibirku, sebagai kode agar Mira tidak lagi banyak bicara.
"Kita pulang saja. Sisanya lanjutkan besok," ajakku.
Mira mengangguk.
Dua karung singkong aku naikkan ke atas gerobak,
"Kamu ikut naik saja, Dek."
Mira menggeleng.
"Aku ikut dorong saja, Mas. Biar cepat sampai."
Akhirnya aku bergegas mengalungkan ban bekas yang ada di bagian depan gerobak, menggenggam erat kedua pegangannya dan langsung menarik gerobak.
Melewati kebun yang luas milik warga setempat. Jalan setapak yang sulit dilalui karena tidak ada penerangan.
Whaakkk ... Whaaakkk ... Whaaakkk ....
Suara burung itu terdengar lagi dari kejauhan, membuat suasana menjadi semakin seram.
Suara Adzan Magrib berkumandang.
Dari kejauhan sudah nampak lampu Mushola yang berada di ujung kampung, pertanda kami akan segera memasuki perkampungan."Baru pulang, Mas Anto?" tanya Pak Aman yang sepertinya sudah bersiap untuk salat Di Mushola.
"Iya ini, Pak. Berangkatnya ke sorean tadi."
Aku menjawab sembari menghentikan langkah.
"Kami permisi dulu," sambungku.
Aku dan Mira bergegas melanjutkan langkah kami.
"Hei! Jangan main air!"
Aku menoleh, dan melihat Pak Aman yang sepertinya tengah memarahi segerombol anak yang bermain air di tempat wudhu. Kebiasaan anak-anak, sangat senang bermain ciprat-cipratan air saat wudhu. Bahkan anak Pak Aman sendiri juga sering kena marah bapaknya karena sering bermain air Di Mushola. Pak Aman adalah salah satu pengurus Mushola, memang sudah tugasnya menegur siapapun yang dianggap membuat gaduh. Bahkan anaknya sendiri.
Tidak terasa, aku dan Mira telah sampai di rumah sederhana kami.
"Mas, aku mandi duluan ya?" pamit Mira saat aku masih menurunkan karung singkong dari gerobak.
"Iya. Jangan lupa, Teh panas buat Mas ya?"
Sembari menunggu Teh pesananku, aku meneguk sisa air dalam botol yang ku bawa ke kebun tadi untuk sedikit mengurangi rasa hausku.
Tiupan angin berhembus kencang, menerpa wajah dan membuat sekujur tubuhku mendadak terasa dingin.
Aku bergidik. Mencoba mengabaikan perasan aneh yang tiba-tiba hinggap.
Melanjutkan aktifitasku memilah singkong-singkong yang baru saja ku panen.
Untuk singkong yang berukuran besar, biasanya akan aku jual ke pengrajin keripik yang ada di dekat rumahku. Sementara singkong-singkong yang berukuran kecil akan kami manfaatkan sendiri. Biasanya aku dan Mira akan merebusnya dan mengkonsumsinya sebagai pengganti nasi."Ini Mas, Tehnya."
Mira keluar dengan membawa segelas besar Teh yang masih mengepul.
Mira meletakan gelas teh di resbang, lalu ia duduk di sebelahnya."Inna Lillahi Wa Innailaihi Rajiun. Berita duka cita, telah meninggal dunia Nama Dion bin Aman ...,"
Pengumuman dari pengeras suara mushola membuat aku dan Mira saling pandang. Mencerna siapa orang yang namanya disebutkan tadi.
"Innalillahi, anaknya Pak Aman, Mas?" tanya Mira dengan raut tak percaya.
Bukan hanya Mira, akupun sama terkejutnya.
Bukankah tadi anak Pak Aman ada Di Mushola?Entah kebetulan atau memang benar, tetapi setiap burung itu berbunyi akan selalu disusul sebuah berita kematian.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Burung Pembawa Maut (TAMAT)
HorrorMenceritakan kehidupan masyarakat yang masih percaya dengan segala mitos dan hal klenik. Termasuk kepercayaan terhadap seeokor burung yang dianggap mampu mendatangkan bala dan maut.