"Astaga!!!"
Aku sangat terkejut, mendapati Mira terduduk di pojok kamar. Tepatnya di celah antara lemari dan dinding.
Dengan kedua tangan yang menangkup di wajah, Mira seperti orang yang tengah ketakutan."Dek, kamu kenapa?" tanyaku.
Aku mencoba meraih pundak Mira, dan mengajaknya keluar dari tempatnya bersembunyi.
Mira tergugu, saat aku membantunya untuk berdiri.
Perlahan ia menurunkan tangan dari wajahnya."Mas!"
Seketika Mira memelukku, sangat erat.
Tubuh yang kini berada dalam pelukanku,terasa gemetar."Kamu kenapa, Dek?" tanyaku lagi.
Mira tetap bungkam, ia enggan menjawab pertanyaanku.
"Ayuk, kita duduk dulu." Ajakku sembari mengurai pelukan kami.
Aku menuntun Mira untuk duduk di ranjang.
"Dek, jangan bikin Mas khawatir," ucapku cemas.
"Aku takut, Mas."
Suara Mira terdengar bergetar.
"Takut, kenapa?"
"Bu ... Burung itu,"
Deg!
Perasaanku mendadak menjadi tidak enak. Berbagai pikiran buruk seketika menghampiriku.
"Burung itu, tadi ada di sekitar rumah kita Mas."
Entah mengapa, mulutku terasa kelu.
Bahkan untuk menanggapi cerita Mira. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku. Aku mencoba meredam rasa takut yang aku rasakan.Cukup lama kami hanya saling diam. Sepertinya Mira juga tengah berusaha menetralkan rasa takutnya.
Tok ... Tok ... Tok ....
Sebuah suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian kami.
"Biar Mas yang buka," ucapku sembari melangkah keluar kamar.
"Assalamu'alaikum,"
Terdengar ulukan salam dari balik pintu.
"Waalaikumsalam," jawabku sembari menarik gagang pintu.
"Maaf, Mas. Apa Mas Anto punya obat merah?" tanya Mas Bima setelah pintu kubuka.
"Oh iya, ada Mas." jawabku.
"Boleh saya minta, Mas?"
"Sebentar, saya ambilkan."
Aku bergegas kembali masuk ke kamar, mengambil obat merah.
"Siapa yang dateng, Mas?" tanya Mira.
"Mas Bima, Dek. Mau minta obat merah,"
Tanpa kuminta, Mira ikut membantuku mencari obat merah.
"Ini Mas," ucap Mira sembari mengulurkan sebuah botol kecil berwarna kuning.
"Terimakasih, Dek."
Setelah menemukan obat merah yang diminta Mas Bima, aku pun bergegas kembali ke depan.
"Ini, Mas."
Mas Bima menerima dan hendak langsung pergi setelah mengucap terimakasih.
"Mas! Bagaimana kondisi Pak Harjo?" tanyaku.
Mas Bima menghentikan langkahnya dan kembali menoleh ke arahku.
"Masih ada sedikit serpihan kayu yang belum bisa di cabut, Mas. Tapi lukanya tidak begitu parah, hanya sedikit bengkak," jelas Mas Bima.
"Semoga lekas sembuh, Ya Mas."
"Aamiin,"
Mas Bima pun beranjak meninggalkan rumahku.
Mataku terus mengikutinya hingga ia sampai di depan rumah Pak Harjo."Mas!" kejut Mira.
Aku tersentak.
"Mas Bima kenapa, Mas? Kok nyari obat merah?" tanya Mira.
"Bukan Mas Bima yang terluka, Dek. Tapi Pak Harjo, kakinya kecucuk bonggol kayu," terangku.
Mulut Mira membulat membentuk huruf 'O'.
"Sudah, yuk. Kita masuk," ajakku.
Mira mengangguk dan berjalan mendahuluiku.
Saat aku hendak masuk ke dalam, sebuah kelebat tertangkap oleh indera penglihatanku.
Aku berbalik dan mencari apa yang baru saja kulihat.
Disebuah pohon, dipinggir jalan antara rumahku dan rumah Pak Harjo.
Aku melihat sesuatu bertengger disana.
Aku berjalan pelan, mendekat ke bawah pohon. Saat jarakku semakin dekat, aku bisa memastikan bahwa kelebat yang baru saja kulihat adalah seekor burungSraaakkkk!
Burung itu terbang menerobos rimbunnya dedaunan.
Whaakkkk ... Whaaakkk ... Whaaakkkkk ....
"Pakde! Pakde!! Tolong! ... Tolong!"
Sebuah jeritan dari rumah Pak Harjo, bersahutan dengan suara burung si pembawa maut.
Telingaku mendengar, namun entah mangapa badanku kaku seperti patung. Tidak bisa bergerak sama sekali.
Ada apa di rumah Pak Harjo?
Kenapa Mas Bima berteriak meminta tolong dan memanggil-manggil Pak Harjo, Pakdenya.Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Burung Pembawa Maut (TAMAT)
HorrorMenceritakan kehidupan masyarakat yang masih percaya dengan segala mitos dan hal klenik. Termasuk kepercayaan terhadap seeokor burung yang dianggap mampu mendatangkan bala dan maut.