Burung Pembawa Maut #5

7.8K 587 8
                                    

Ku tajamkan penglihatanku ke arah dahan, dimana burung itu bertengger.

Burung itu nampak tenang, menatap tajam ke arah kerumun orang yang tengah mengelilingi liang kubur.

"Mas! Sini,"

Aku tersentak, dan seketika menoleh ke arah sumber suara.

Pak Harjo melambaikan tangan ke arahku, seakan memintaku untuk berkumpul dengan yang lainnya.

Sebelum beranjak, sejenak aku kembali mendongakan kepala untuk memeriksa keberadaan burung misterius itu.

"Ehm, kemana burung itu?" tanyaku dalam hati.

Burung itu sudah tidak ada di tempat semula, entah pergi kemana. Akhirnya aku memutuskan untuk bergabung bersama dengan yang lain.

Tidak lama berselang, iringan yang membawa dua keranda sudah nampak di kejauhan.

Kami bersiap untuk menyambut dan menyelasaikan prosesi pemakaman almarhum Pak Aman dan anaknya.

Semua berjalan dengan lancar, tanpa ada kendala.
Setelah semuanya  selesai, para pelayat membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing.

Saat keluar dari area pemakaman, ku menyapukan pandangan ke segala sudut. Mencari keberadaan istriku, Mira.

Nihil, aku tidak menemukannya.

"Sepertinya Mira tidak ikut ke pemakaman," batinku.

Akhirnya aku putuskan untuk segera kembali ke rumah.
Aku berjalan bersama beberapa warga yang lain.
Namun aku tidak menemukan Pak Harjo. Sepertinya beliau sudah pulang lebih dulu.

Di sepanjang perjalanan banyak yang membicarakan perihal burung misterius itu.
Kebanyakan dari mereka, sama sepertiku yang tidak tau banyak tentang kejadian mistis yang sering menimpa warga kampung kami.
Entah mengapa setiap burung itu bersuara selalu di ikuti dengan berita kematian.

"Katanya jika ingin selamat dari Tulah burung itu, siapa saja yang di dekati burung itu harus pergi sejauh mungkin dari kampung ini."

Aku terpaku mendengar penuturan salah seorang warga.

"Maksudnya, Mas?" tanyaku, penasaran.

"Maksudnya, kalau kita melihat atau mendengar burung itu ada di dekat kita. Kita harus segera meninggalkan kampung ini. Kalau tidak ...," jawabnya.

"Kalau tidak, kenapa Mas?" tanya seorang yang lain.

Beberapa pasang mata tertuju pada Mas Bima, si empunya cerita.

"Kalau tidak, orang itu akan meninggal." Mas Bima melanjutkan ceritanya.

"Tapi, Mas. Bukannya tidak ada yang tau pasti, seperti apa rupa burung itu?" tanyaku semakin penasaran.

Seperti aku, begitu juga yang lain, menatap Mas Bima dengan antusias. Cerita yang sebenarnya tabu untuk kami obrolkan, namun begitu memancing rasa penasaran kami semua.
Entah bagaimana kebenaran cerita yang di bawa oleh Mas Bima.

"Sejauh apapun pergi, tidak ada yang mampu melarikan diri dari ajal."

Sebuah suara mengagetkan kami. Kami semua menoleh ke sumber suara.

"Pakdhe," gumam Mas Bima.

"Pak Harjo, saya kira sudah pulang duluan Pak?" ucapku.

"Belum, Mas."

"Bima dan semuanya, sebaiknya kita jangan membicarakan soal ini lagi." Pak Harjo berbicara tanpa menghentikan langkahnya.
Saat ku perhatikan, Pak Harjo nampak berjalan pincang.

"Kakinya kenapa, Pak?" tanyaku.

Aku merasa penasaran karena seingatku, saat berangkat tadi kaki Pak Harjo nampak baik-baik saja.

"Oh, Ini Mas ..., ini hanya kecucuk bonggol kayu Mas."

Pak Harjo menunjukkan telapak kakinya. Nampak serpihan kayu masih menancap di kaki, tidak besar hanya seukuran lidi.

"Harus segera di bersihkan itu, Pakdhe."

Mas Bima berjongkok dan hendak meraih kaki Pak Harjo.

"Di rumah saja," ucap Pak Harjo, seketika menghentikan gerakan Mas Bima.

Akhirnya kami semua memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang.

Whaaaakkkk ... whaaakkk ... whaaakkk ...,

"Astaghfirullah!" seru kami semua sembari mendongak mencari sumber suara.

Burung itu berbunyi lagi.
Tentu saja membuat nyali kami seketika menjadi ciut.
Beberapa orang langsung berlari, dan kini hanya ada aku, Mas Bima, dan Pak Harjo.
Meski kami juga kian mempercepat langkah kami.
Tidak ada yang bersuara hingga kami sampai ke rumah.

"Saya duluan, Pak. Assalamu'alaikum," pamitku saat hendak memasuki pekarangan rumah.

Setibanya di teras, berulang kali aku mengucap salam namun tidak ada jawaban.

Krieeeettt ...,
Derit pintu terdengar saat aku mencoba menarik gagang pintu.

"Tidak di kunci, berati Mira sudah pulang."

Aku membatin sembari bergegas masuk ke dalam rumah.
Ku langkahkan kaki ke setiap ruangan yang ada.
Ruang tamu, ruang tengah, dan kamar, semuanya nihil.

"Kemana Mira?" gumamku.

Saat hendak keluar dari kamar, mataku menangkap sesuatu.

Seperti sepasang kaki yang terbujur di sudut kamar.
Sayang, aku tidak bisa melihat siapa pemilik kaki tersebut karena terhalang lemari.

Jantungku terpacu saat mencoba mendekatinya. Dengan langkah pelan, aku semakin mendekat.‎

"Astaga!!!"

Bersambung...

Burung Pembawa Maut (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang