Burung Pembawa Maut #2

10.4K 736 16
                                    


Mira duduk di tepi ranjang, saat aku selesai menunaikan tiga rakaat wajibku.

"Dek, kamu di rumah saja ya? Biar Mas yang ke rumah Pak Aman." Ucapku sembari melipat sajadah dan menyimpannya di meja kecil dekat jendela kamar.

"Tapi, Mas ...," Mira menggantung ucapannya.

"Kenapa?"

"Aku takut Di Rumah sendirian,"

"Tapi mungkin kita akan pulang menjelang subuh, bagaimana?"

Sejenak Mira nampak berpikir, sampai akhirnya ia mengangguk.

"Tapi kalau nanti kamu ngantuk, Mas anter pulang ya?"

Lagi, Mira mengangguk.

Akhirnya kami memutuskan segera berangkat ke rumah duka.

Istri Pak Aman bekerja diluar kota, dan sepertinya itu yang menjadi sebab jenazah anaknya tidak langsung dimakamkan.
Menurut pengumuman dari pengeras suara Mushola, jenazah akan di kebumikan esok hari.

Sepanjang jalan hawa dingin membuat suasana terasa mencekam.
Semua pintu rumah warga tertutup rapat. Seperti tidak ada tanda kehidupan di kampung ini.

"Mas, kok sepi banget ya?" tanya Mira.

"Iya, Dek. Mungkin semuanya sudah ada di rumah Pak Aman."

Mira mengetatkan pelukannya pada lenganku.

"Kenapa, Dek?" tanyaku heran.

Mira seperti orang yang ketakutan.
Tangannya mencengkeram kuat lenganku, dengan wajah yang ia sembunyikan dibalik bahuku.

"Kalau jalannya begitu, nanti kita bisa kesandung."

Mira bergeming, nafasnya tersengal seiring langkah yang ia percepat. Aku sedikit kesal karena aku seperti terseret oleh Mira.
Mira tetap diam, Ia tidak menjawab pertanyaanku.

Whaaakkk ... whaakkk ... Whaaakkk ...

Jantungku seperti hendak melompat dari tempatnya saat mendengar suara Si Pembawa Maut.
Kaget, dan takut. Tentu saja.
Jalan yang sepi dan gelap karena sedikitnya penerangan, ditambah dengan datangnya suara yang paling ditakuti warga kampung. Tidak terkecuali aku dan Mira.
Aku tidak bisa menatap wajah Mira, karena sepanjang jalan ia menundukkan kepalanya.

Jarak yang kami tempuh terasa sangat lama, padahal rumahku dan Rumah Pak Aman tidak begitu jauh.
Hingga akhirnya kami sampai di pelataran rumah Pak Aman.
Tidak begitu ramai. Hanya beberapa orang laki-laki yang berkerumun duduk di kursi kayu panjang yang berada di halaman ruman.
Selesai menyalami semua tetangga yang ada di luar rumah Pak Aman, aku mengajak Dina masuk kedalam.
Wajah-wajah sembab menyambut kedatangan kami.
Pak Aman nampak terduduk di pojok ruangan. Isaknya tak terdengar, namun mulutnya terus saja meracau. Menyebut-nyebut nama anaknya.

Di dekat pembaringan jenazah ada Mbak Ayu, adik ipar Pak Aman. Bahu Mbak Ayu nampak naik turun, begitu jelas ada tangis tertahan disana.
Sesekali Mbak Ayu membenarkan api pada lentera yang ada di meja.
Lentera sederhana, yang dibuat sendiri dengan minyak goreng berwadah piring, dan kapas yang dipilin sebagai sumbu. Tidak lupa sebuah uang logam yang digunakan untuk menindih ujung kapas, agar tidak tenggelam kedalam minyak.
Lentera harus terus dijaga agar tetap menyala hingga fajar tiba.

Klaaakkk!!

Setelah menyalami tuan rumah, dan menyampaikan duka cita kami atas meninggalnya anak Pak Aman, aku dan Mira yang hendak duduk dikagetkan dengan padamnya lampu.
Suara khas box listrik yang anjlog terdengar bersamaan dengan lampu rumah Pak Aman yang padam.
Gelap, menyisakan cahaya lentera di meja dekat pembaringan jenazah.

"Wah! Tidak bisa ini," Seru seseorang diluar yang mencoba agar listrik kembali menyala.

Mira semakin erat memeluk lenganku.

"Coba ganti skringnya," saran seseorang.

Whaaakkk ... whakkkk ... whaaakkk ...

Suara burung itu lagi.
Semua orang terdiam, tidak ada yang berani bersuara.

Aku merasakan tubuh Mira menggigil ketakutan.

Tidak lama seseorang masuk dengan senter.
Seakan mencari sesuatu, senter yang ia bawa di arahkan ke sisi dinding.

"Nah itu," ucapnya entah kepada siapa.

Sebuah kotak hitam kecil, dengan benda bulat putih ditengahnya.
Laki-laki itu mendekat, diputarnya benda berwarna putih itu. Mencopotnya, lalu mengganti dengan yang baru. Gegas beliau keluar, dan tidak lama lampu pun kembali menyala.

Lega rasanya. Karena ruangan ini kembali terang.

Tubuh Mira berangsur normal, tidak lagi gemetar.

Tiba-tiba tiupan angin yang cukup kencang menyeruak masuk kedalam ruangan.

Whaaakkk ... Whaaakkk ... Whaaakkk ...

Klaakk!

Suara burung itu kembali terdengar membuat suasana menjadi semakin menakutkan.
Bertambah mencekam seiring dengan padamnya lampu dan lentera secara bersamaan.

Bersambung...‎

Burung Pembawa Maut (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang