Burung Pembawa Maut #11

6.3K 564 23
                                    

Burung Pembawa Maut #11

"Maksud kamu apa, Dek?" tanyaku.

Meski sebenarnya aku mendapat firasat tidak enak. Aku sungguh tidak sanggup dengan kenyataan menyeramkan yang ada di depan mata.

"Arwah Pak Harjo ngikutin kamu Mas," terang Mira.

"Jangan becanda kamu, Dek."

"Siapa yang becanda, Mas? Enggak lihat kamu, aku sampai ketakutan begini?"

Ku raih Mira kedalam pelukanku, bukan sekedar untuk menenangkannya. Tetapi, untuk sedikit meredam ketakutanku.
Aku takut.
Suara yang ku dengar bukan hanya halusinasiku.

"Mungkinkah itu suara Pak Harjo?" gumamku.

"Kamu denger, Mas? Kamu denger Pak Harjo berbisik di telinga kamu?" tanya Mira.

Aku mengangguk,
Akhirnya aku memceritakan semua yang terjadi di rumah Pak Harjo.

Meski dilanda ketakutan yang teramat sangat, aku dan Mira memutuskan untuk kembali ke rumah duka. Tentunya setelah kami menjalankan empat rakaat wajib di rumah.

Mira tidak berani menatap ke depan.
Sepanjang prosesi Mira selalu menunduk, dan tak pernah sedikitpun melepaskan pelukannya pada lenganku.

Dua jam terasa sangat lama.
Meski rumah Pak Harjo di penuhi pelayat, namun bagiku dan Mira suasananya tetaplah mencekam.

Rasanya ingin segera kembali ke rumah dan beristirahat.

Tepat adzan magrib saat kami tiba di rumah.
Akhirnya kami memutuskan untuk segera bersih-bersih badan dan menunaikan salat magrib.

Setelah kewajiban kami tertunaikan, Mira menyiapkan makan malam untuk kami berdua.
Hanya menu sederhana seperti biasanya.
Singkong rebus dengan gula merah, dan teh panas.
Meski sederhana namun terasa nikmat, karena tanpa sadar kami telah melewatkan makan siang kami berdua.

"Mas, kamu enggak usah ikut tahlilan ya?"

"Memangnya kenapa, Dek?"

"Aku takut sendirian di rumah,"

"Ya udah, kamu ikut aja. Sekalian bantu-bantu di sana."

"Itu lebih seram, Mas."

"Jangan gitu, Dek."

Mira terdiam.
Nampak seperti berpikir, sampai akhirnya Mira memutuskan untuk ikut denganku ke rumah Pak Harjo.

Tidak terasa, sepiring penuh singkong rebus gula merah yang Mira sajikan tandas tak bersisa. Begitupun dengan segelas teh panas kami.

Karena kami tetangga yang paling dekat rumahnya dengan Pak Harjo, akhirnya kami memutuskan untuk datang lebih awal.

Di rumah Pak Harjo sudah nampak ramai.
Beberapa kerabat Pak Harjo rupanya sudah datang.

"Syukurlah, ramai." Batinku.

"Iya Ramai, Mas. Yang sepi kuburan," suara misterius yang terdengar seperti tengah bergurau, nyatanya sama sekali tidak membuatku ingin tertawa.
Yang ingin kulakukan saat ini adalah lari ke rumah, dan tidur.

Bersambung...

Burung Pembawa Maut (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang