Chapter 1.1

7.2K 48 1
                                    

Aku masih mempertahankan gaun tipis yang mencetak jelas lekuk-lekuk tubuhku tetap di tempatnya.

Kedua tanganku menggenggam bagian depan gaun itu erat di depan dada sementara lengan-lenganku melindungi payudaraku yang terpapar. Kepalaku menunduk, air mataku merebak dan siap jatuh membasahi pipi. Bibirku tak lagi merapalkan doa kepada Tuhan karena Tuhan sudah mengecewakanku berkali-kali. Kalau Dia masih melindungiku, Dia tak akan membiarkanku berada di sini. Aku gadis yang baik, putri yang penurut, tak pernah sekalipun aku melewatkan doa dalam setiap kegiatan yang kulakukan, tapi apa yang Tuhan berikan sebagai balasannya? Dia mengambil semua yang berarti bagiku sampai tak bersisa. Yang terakhir diambil-Nya adalah kewarasan ibuku.

Itulah yang membuatku terpaksa berada di sini. Nyaris telanjang di depan seorang pria pendek gemuk dan wanita cantik di ujung tiga puluhan, suami istri yang tiba-tiba muncul di rumahku, menyelamatkanku dari kebejatan pamanku sendiri. Kalau mengingatnya, sekujur tubuhku masih gemetar karena geram. Seseorang yang kupikir datang untuk menolong ternyata justru hendak melemparku ke dalam jurang.

Entah bagaimana suami istri itu bisa muncul di sana pada saat yang tepat. Entah bagaimana juga mereka tahu aku butuh banyak uang secepatnya. Mungkin mereka pernah berkunjung di restoran tempatku bekerja dan kesedihan di raut wajahku tak bisa tersamarkan dengan senyum standar prosedur pelayanan macam apapun. Gajiku menyajikan burger dan bir di sebuah kafe di Nusa Dua hampir tak cukup untuk sekadar menyambung hidup.

"Pilihan ada di tanganmu," ucap Nyonya Violet letih. Dia meneliti kuku-kukunya yang berwarna merah menyala, kemudian meniupinya samar sambil menggerakkan bola matanya, gantian mengawasiku dari ujung rambut hingga kaki. "Kau membutuhkan uang. Malah... kau sudah menggunakan uang itu sebelum melakukan apa-apa. Kami berdua mempercayaimu."

"Ka-kalau boleh... beri saya waktu untuk menggantinya," pintaku, hampir terisak.

"Boleh saja," kata wanita itu.

"Kapan kau bisa mengganti uang sebesar dua puluh juta yang sudah telanjur kami bayarkan ke pusat rehabilitasi untuk merawat ibumu yang sakit karena kami sudah mempercayaimu?" sela Tuan Jeremy, suami Nyonya Violet dengan nada lebih serius. "Sehari? Dua hari?"

"Sayang," keluh Nyonya Violet iba, tapi entah kenapa terkesan sebaliknya. "Kami akan memberimu seminggu."

"Tapi-"

"Setiap harinya, kalau kau terlambat, kau harus membayar denda sebesar 2%," imbuhnya datar.

"Apa? Tapi dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?"

"Itu bukan urusan kami. Kami sudah berniat membantu, tapi kau malah mengkhianati kepercayaan kami. Untuk apa kau mempertahankan keperawananmu? Untuk kauberikan pada suamimu yang entah siapa? Atau pada pamanmu dan teman-temannya yang bejat itu? Kau lebih suka digilir laki-laki busuk yang paling-paling hanya bisa membayarmu beberapa ratus ribu dan menyuruhmu melakukan hal-hal menjijikkan yang tak terbayangkan sebelumnya? Apa kau yakin akan bisa mendapatkan lelaki yang bisa membayarmu setinggi Luciano Marathi?"

"Sebaiknya kau segera temukan laki-laki yang paling tidak memberimu dua puluh juta di muka," gumam Tuan Jeremy sadis seraya meninggalkan kamar mandi luas nan mewah itu dengan muka masam. Sewaktu dia melewatiku, bibirnya yang hanya setinggi pundakku membisik, "Pada akhirnya, kau sama saja dengan menjual tubuhmu."

Mataku terpejam menahan rasa sakit yang menghunjam dadaku gara-gara perkataannya. Dengan lembut, Nyonya Violet menghampiri dan memelukku sekilas. "Oh... Jeremy memang seperti itu. Dia tidak punya rasa iba terhadap kesulitan seseorang. Tapi, Alana... dia ada benarnya, kau tahu? Kami hanya ingin menolongmu, tentu saja semuanya tidak gratis. Tak ada hal gratis di dunia ini. Hanya saja, kami mencoba menawarimu satu kesempatan yang sangat langka. Jika kau melewatkannya, mungkin kali lain kami tak bisa memberimu klien sebaik Luciano Marathi."

"Aku... aku tidak pernah...."

"Kau tidak pernah melayani lelaki dalam hidupmu? Begitu?"

Aku mengangguk dengan pipi merona menahan malu. Nyonya Violet tersenyum, lalu mendekatkan bibir merahnya yang basah ke telingaku, "Justru itu kau dibayar mahal, Sayangku. Seratus juta untuk menemaninya selama sepuluh hari. Sepuluh juta semalam. Itu jumlah yang sangat besar. Kau tidak hanya bisa membayar uang pengobatan ibumu, kau mungkin bisa memulai sesuatu. Malah... kalau Luciano Marathi menyukaimu... entah apa yang akan diberikannya. Sesuatu yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya."

"Apa saja yang akan dia lakukan padaku, Nyonya Violet? Lebih jelasnya... apa dia akan... menghamiliku?"

"Apa?"

"Yah... kau tahu... banyak gadis-gadis lokal yang ditiduri sampai mereka punya bayi lalu ditinggalkan begitu saja. Mungkin uang yang diterima di awal hubungan cukup banyak, tapi tidak sepadan dengan ditinggalkan dan harus menghidupi seorang anak seumur hidup-"

"Oh jangan konyol!" serunya. "Aku tidak menjodohkan gadis-gadis terbaik sepertimu dengan pria-pria hidung belang murahan! Jangan membuatku tersinggung!"

Aku tersentak dan meminta maaf.

Nyonya Violet melembut lagi, "Dengar baik-baik. Luciano Marathi adalah seorang pria dengan kekayaan yang tidak main-main. Dia bukan bule-bule miskin yang berkeliaran di Bali karena di tempat asalnya mereka tak berguna. Dia memiliki bisnis yang menjalar di mana-mana seperti kaki gurita. Perhotelan, kuliner, alkohol, perkebunan, dan lain-lain. Dia eksekutif yang sangat diminati gadis-gadis kalangan atas. Kau tahu apa yang membawanya kemari? Stres!"

"Stres?"

"Ya. Kau pikir orang kaya tidak bisa stres? Dia bilang, dua tahun terakhir dia bekerja nyaris tanpa libur. Berkeliling dunia, mengumpulkan pundi-pundi uang, memenangkan berbagai macam peluang, tapi akhirnya tahun ini dia menyerah sebelum menjadi benar-benar gila karena tekanan. Dia senang melukis dan mengalihkan stres ke hobinya yang satu itu. Oleh karena itu dia berada di sini. Dia mencari ketenangan supaya bisa melukis objek yang paling di sukainya"-Nyonya Violet memelankan suaranya-"Gadis telanjang."

Napasku tertahan.

"Dia mencari wanita lokal dengan kulit kecokelatan yang indah, bertubuh sintal dan berwajah cantik. Nilai tambah jika gadis itu memiliki leher dan kaki jenjang, pundak lebar dan lurus, dan pinggul bak gitar Spanyol. Wajah yang melankolis.... Hmmm... Benar juga.... Semua yang ada pada dirimu sesuai kriterianya. Jangan khawatir, dia tidak akan menyakitimu. Mungkin... dia malah hanya akan melukismu saja dan menyentuhmu sesekali. Kudengar dia orang yang sangat fokus dalam bekerja, termasuk hobinya. Dalam berbagai lelang untuk amal, lukisannya bisa terjual sangat mahal! Kau tak perlu memikirkan hal-hal buruk duluan, pikirkan seandainya semuanya berjalan lancar dan kau akan mendapat semua yang kauinginkan. Dengan wajah secantik dirimu... aku yakin kau bisa menaklukkannya."

Singkat cerita, aku tak bisa berkata tidak.

Dari mana aku melunasi utang dua puluh juta dalam seminggu? Kalau aku tak sanggup, hidupku akan semakin tak menentu. Entah apa yang harus kulakukan saat itu terjadi, jangan-jangan nasibku justru jauh lebih buruk lagi. Akhirnya, dengan berlinang air mata, aku menyerah dan menyatakan kesanggupanku. Aku akan tinggal selama sepuluh hari di sebuah villa bersama lelaki yang tak kukenal. Luciano Marathi. Dari namanya, kemungkinan dia sudah tua, berperut gendut dengan kulit bergelambir. Mungkin dia punya istri di Spanyol yang sedang membelanjakan uangnya tanpa peduli bahwa suaminya sedang mencari kesenangan dengan gadis-gadis muda.

 Mungkin dia punya istri di Spanyol yang sedang membelanjakan uangnya tanpa peduli bahwa suaminya sedang mencari kesenangan dengan gadis-gadis muda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Baca lanjutan part satu ini di KaryaKarsa gue. Selain itu udah gue update sampai chapter 3. Dijamin sehot cerita gue lainnya.
Per part 10k.
Belum ada paket bacanya.
Link KaryaKarsa ada di bio wattpad gue.

Luciano MarathiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang