Chapter 2.2

3.7K 22 0
                                    

"Bukan dia, Hermano (kakak lelaki*). Dia yang menolongku!"

"Oh...?" celetuk si pria tinggi yang lantas membuka masker wajah dan melepaskanku.

Aku berbalik, menggeram marah dan memukul wajahnya.

"Mm—maaf...," ucapnya seraya mengelus pipi yang barusan kutampar. Meski begitu, bukannya kesakitan, dia malah tersenyum geli. "Kupikir kau perempuan yang disebut-sebut adikku. Apa kau tak apa-apa?"

Aku semakin kesal dibuatnya. Dia yang kupukul, tapi malah berbalik menanyakan keadaanku.

"Dia bekerja di restoran perempuan brengsek itu! Si sinting itu marah besar karena kau tidak menemuinya! Dia menggila, membiusku, mengambil semua barang-barangku dan memukuli serta mempermalukanku di jalanan. Dia juga mengambil pasporku!"'

"Ya... ya, nanti kita akan mengurusnya," kibas pria yang baru datang itu acuh tak acuh, dia malah tak segera mengalihkan tatapannya dariku. "Aku serius, apa kau tak apa-apa?" tanyanya padaku. "Aku minta maaf karena bertindak tanpa bertanya lebih dulu. Apa kau tidak perlu ke rumah sakit? Apa aku meremasmu terlalu kencang? Tubuhmu kecil sekali, aku mungkin saja sudah meretakkan tulang rusukmu... apa kau yakin kau tidak terluka?"

"Tidak!" aku membentak. Semua orang lantas terdiam. Pria compang-camping yang masih berusaha melanjutkan penjelasannya pun bungkam.

"Tolong jangan ganggu aku!" seruku, mulai khawatir mengingat hari mulai gelap dan kami bertiga ada di dalam gang yang sepi. "Aku harus segera pulang. Tolong jangan libatkan aku dari masalah kalian. Aku masih ingin bekerja di sana. Jangan sebut-sebut namaku kalau kalian mau melanjutkan perkara ini."

"Kami tidak akan melakukannya," sahut pria yang kutolong tadi. "Namaku Jorge. Dan ini kakakku, Lucia. Siapa namamu?"

"Terima kasih!" ucapku, tapi gara-gara si lelaki pengendara motor itu terus menatapku, aku juga tak bisa menghindar begitu saja dari tatapannya. "Sekarang bisa tolong singkirkan motormu? Aku mau lewat."

"Tentu saja, tapi sebelumnya... bisa aku tahu namamu?"

"Tidak."

"Kenapa tidak? Kau sudah tahu nama kami."

"Aku tidak memintanya!" kataku. "Dan aku tidak ingin memberitahumu!"

"Oh... sayang sekali... tapi aku pasti akan segera menemukanmu lagi."

***

Setelah sore itu, hidupku tidak lebih baik.

Sesampainya di rumah, pamanku sedang menidurkan ibuku. Sejak ayahku tiada, menidurkan ibu adalah hal yang mustahil kecuali dia mau mengonsumsi obat-obatannya. Belakangan aku tahu, pamanku, adik kandung ayahku sendiri, membiusnya supaya ibu tidak mengganggu maksud bejatnya terhadapku.

Di kamar, dia mendatangiku dan memeluk tubuhku. Awalnya kupikir itu adalah tindakan sayang, jadi aku membalas pelukannya dan mencurahkan perasaanku padanya. Dia menggiringku supaya berbaring, kemudian dirinya sendiri menyusul di sampingku. Dia mendekapku dari belakang sambil membisikkan kata-kata lembut yang membuat perasaanku jauh lebih tenang. Meski sebenarnya aku sendiri merasa aneh dengan perlakuannya, tapi saat itu aku tak bisa berpikir bahwa apa yang sudah terjadi padaku bisa lebih buruk lagi.

Aku baru meronta saat kurasakan sentuhannya menyasar payudaraku dan dia mencoba meremasnya. Dengan kekuatan yang begitu besar melawan tubuhku yang lemah setelah sekian lama bergelut dengan keputusasaan, Pamanku sendiri merenggut pakaianku dan berniat menelanjangiku. Sambil menggelutiku yang tak mau tunduk pada paksaannya, dia mengatakan inilah satu-satunya jalan untuk terlepas dari kesulitan hidup.

Semula aku tak paham apa maksudnya, sampai kemudian beberapa pria datang bergabung untuk memegangi tangan dan kakiku. Aku dipentangkan di atas ranjangku sendiri dengan tubuh nyaris telanjang dan paman kandungku duduk di atas pinggangku, mencoba menjejali mulutnya dengan payudaraku. Sementara itu, para lelaki hidung belang lainnya mengekeh menunggu giliran. Mereka menunjukkan dua gepok uang sejumlah dua puluh juta yang artinya bisa kumiliki kalau aku menuruti kehendak mereka.

Luciano MarathiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang