Chapter 2.1

4.8K 24 0
                                    

Dua hari sebelumnya

"Pergi dari sini kau, Pelacur! Di mana Reza? Di mana kau menyembunyikannya? Kau wanita brengsek! Dia akan menikahiku! Kau merebutnya! Sialan kau! Sialaaan!!!"

Aku melompat mundur tepat sebelum cangkir yang dilempar itu menghantam dinding dan pecah berantakan tanpa mengenai wajahku. Baki sarapan yang belum sempat kuletakkan dengan benar di atas meja ikut terseret tanganku dan kini isinya bergelimpangan mengotori lantai. Bubur dan teh panas berceceran di atas karpet bulu tebal buatan Turki yang dikirim oleh kolega ayah saat beliau masih hidup, sedikit jejak kebahagiaan di rumah ini yang masih tersisa dan kini ikut tak terselamatkan. Biaya untuk mencuci karpet itu tak akan sanggup kubayar dengan gajiku yang pas-pasan. Aku merenunginya sementara ibuku berteriak histeris mengumpatiku. Sudah terlalu letih diri ini menangis. Pandanganku terangkat dari hamparan karpet bernoda itu dengan putus asa, bergeming mendapati ibuku sudah menjunjung bingkai foto ayahku tinggi-tinggi untuk dilemparkan padaku.

Bunuh saja aku.

Aku sudah tak sanggup lagi.

Aku sudah siap mati.

"Alana! Awas!"

Saat aku menyadarinya, Pamanku—adik dari ayahku—tiba-tiba muncul di dekat pintu dan menarik tubuhku serta melindungiku dari serangan lemparan bingkai foto ibu dalam pelukannya. Bingkai berkaca itu menghantam punggungnya sebelum jatuh berserak di lantai. Aku didorongnya keluar, kemudian dari balik pintu kudengar ibuku menjerit-jerit.

Tangisku pecah, tubuhku merosot di lantai. Aku menangis tersedu-sedu.

Beberapa saat kemudian, tangis dan jeritan ibuku mereda disusul kemunculan Paman Andres. Lelaki itu adalah bungsu kakekku. Usianya terpaut belasan tahun dari ayahku dan hanya sepuluh tahun di atasku. Sambil menutup pintu di balik tubuhnya dengan lambat, dia berusaha mengulas senyum pengertian yang membuatku merasa semakin menyedihkan. Aku buru-buru menghapus air mata yang berlinang membasahi pipi dan berdiri, merentangkan lengan untuk memeluknya.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya sambil mencubit daguku.

Aku mengangguk.

Sambil merangkul pundakku, Paman Andres menggiringku ke ruang depan dan mengajakku duduk di sofa. Dia mengelus rambutku dan merapikannya, "Alana... kau tahu dia harus dibawa ke pusat rehabilitasi, kan?"

"Biayanya sangat mahal, Paman," isakku setelah mengangguk berkali-kali. Air mataku terbit lagi dengan mudahnya.

"Tenanglah," bujuknya seraya mengusap-usap punggungku. "Kita akan memikirkannya bersama-sama. Aku akan pergi berlayar lagi. Aku akan mengirimkan uangnya. Bersabarlah, okay?"

Aku mengucapkan terima kasih meski dalam hati berpikir, mungkin saat itu sudah terlambat. Aku tak bisa menyalahkannya. Pamanku sedang ada di Italia saat ayahku meninggal. Sejak musibah itu terjadi, dia hanya muncul sebanyak dua kali, tapi rutin mengirimkan uang ke rekeningku meski jumlahnya tak seberapa. Semua orang memiliki kesulitan hidupnya sendiri-sendiri dan keluarga ini tidak lantas menjadi tanggung jawabnya hanya karena kakaknya telah tiada. Aku harus mencari uang untuk mengobati ibuku, atau dia bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain sementara aku harus pergi bekerja.

"Kau mau berangkat kuliah?" Pamanku bertanya.

"Aku tidak bisa membiayai kuliahku," jawabku tegar. Aku sudah sering ditanyai perihal serupa, jadi akhir-akhir ini tak terlalu menyakitkan mengakui bahwa aku tak akan pernah menyelesaikan studiku. "Aku harus bekerja."

"Setidaknya... carilah pekerjaan yang layak. Kau cantik dan pintar. Kau juga bisa mendesain pakaian, cobalah mencari lowongan yang sesuai dengan minat dan bakatmu. Aku yakin... suatu hari kau akan menemukan keberhasilanmu, Alana. Semua ini akan berlalu. Kau gadis yang baik, Tuhan pasti mendengar doamu."

Luciano MarathiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang