Chapter 4.2

2.3K 11 0
                                    

Di karyakarsa gue udah chapter 38. Bentar lagi tamat. Buruan langganan.
***

Setelah itu, dia menjilatinya bergantian hingga membuat tubuhku menggelepar seperti ikan yang terlempar di daratan. Belum lagi saat dia mengulum dan mengunyahnya. Aku menangis, tapi tak bisa menepis rasa nikmat yang terasa saat dia mengisap buah dadaku hingga tersedot begitu dalam, memainkan lidahnya di dalam sana, kemudian melepasnya, dan dikulumnya lagi.

“Enak, kan?” tanyanya. “Kita belum sampai di bagian paling menyenangkan, Alana.”

“Oh kumohon jangan,” rengekku. “Jangan… tolooong!!!”

Mendengarku menjerit, Andres terpernyak kaget dan menamparku sekali lagi. Tamparannya kali itu sangat keras, membuat kesadaranku nyaris hilang. 

“Kau memang lebih baik diam,” seringainya.

Andres meninggalkan payudaraku yang berdenyut nyeri dan sangat basah oleh air liurnya, tapi dengan dua tangannya dia masih terus memijat dan memilin kedua putingku. Kecupannya menyusuri perut pipihku hingga tulang kemaluanku. Di pusarku, dia menjejalkan lidahnya. Sensasi menggelitik itu menyentakku, membuatku secara tak sadar mengentak bokongku ke depan. Andres mengerang, dia menyelipkan jarinya ke tepi celana dalamku dan berniat menariknya ke bawah. Aku tak bisa merapatkan kakiku karena kepalanya berada di antara pahaku yang terbuka. Sebelum celanaku dilepaskannya, dia membenamkan wajahnya di sana dan menghirup aroma kewanitaanku yang masih terbungkus kain dalam-dalam. 

“Jaaangaaan…,” aku menggelinjang. Pusat diriku berkedut hebat, bisa kurasakan semburan kecil memancar di dalam sana. Tubuhku yang tak pernah disentuh sebelum malam ini begitu sensitif dan bereaksi berlebihan. 

“Mmmmh… Alana… mmmh… aroma kewanitaanmu sungguh luar biasa, Sayang,” pujinya, mukanya merah padam menahan nafsu yang menggelora. Aku hanya bisa pasrah saat dia meneruskan perbuatannya, melucuti celana dalamku hingga aku telanjang bulat di depannya. Dengan kedua tangannya, dia menahan kedua pahaku. Matanya berkilat menatap milikku yang basah bagaikan bunga kecil yang merekah merah. Aku begitu ingin menutupi diriku, tapi apa daya, kedua tanganku masih terikat erat di punggung. “Indah sekali,” geramnya. Liurnya hampir menetes. “Aku ingin menciumnya.”

Aku menggeleng ngeri membayangkan apa yang akan dilakukannya padaku di bawah sana. Apa dia berniat mencium kelaminku yang basah? Tapi itu menjijikkan. Aku terus menggeleng dan menekan pahaku ke dalam, tapi tenagaku tak sebanding dengan tenaga Andres yang begitu kuat. Dia melesak ke bawah, mengangkat kedua pahaku ke atas dalam posisi lebih terbuka dari sebelumnya. Napas panasnya menyergapku sebelum mulutnya menangkup kewanitaanku seluruhnya dan mulai memagut dengan nikmat. Aku menggelinjang hebat, meronta, dan melolong, tapi tak satupun yang kulakukan bisa menghentikan perbuatannya.

Dia menjilati kelaminku dan membuatnya semakin basah. Dengan ujung lidahnya, dia menarik garis dari bawah, di dekat lubang analku, dan membawanya ke atas melintasi liang sanggamaku, lalu saat bertemu dengan biji kecil yang merupakan titik paling sensitif di area pribadiku, dia menggetarkannya hebat. Bergantian dengan pagutannya setelah menjilat seluruh permukaan labiaku, jarinya kembali beraksi. Liangku yang basah dan licin menyambut tusukan jari tengahnya dan menyilakannya masuk dengan mudah. 

Dia menyerang dari berbagai penjuru. Liangku dengan jarinya dan klitorisku dengan lidahnya. Aku menangis dan meronta sekuat tenaga. Namun, semakin keras aku berusaha melepaskan diri, justru gerakan pinggul dan bokongku seakan bersinergi bersama irama sodokan jari dan isapan kencangnya pada klitorisku. Semakin kuat aku melawan, semakin ganas lelaki itu memporakporandakan diriku. Dia terus melakukannya tanpa ampun, tanpa belas kasihan, sampai kemudian, cairanku akhirnya menyembur membasahi wajahnya.

“Woooah!!!” serunya, menarik wajahnya tepat saat semburan kecil memancar dari liangku. Dengan bersemangat, lelaki itu berlutut menahan kedua tempurung lututku dan bersorak senang menyaksikan bagian intimku berlumuran cairan kental yang masih terus memancar. “Lihat… kau menyembur. Kau orgasme!”

Luciano MarathiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang