Chapter 3.1

3.2K 16 0
                                    

Aku bergeming sambil meremas tepi gaunku yang sangat pendek. Pahaku saling menggesek karena gugup dan itu membuat tatapannya beralih ke sana. Bibirnya yang tadi tergigit kini basah oleh jilatan lidahnya yang menyapu lambat sambil memperhatikan gerak-gerikku.

Aku mencoba mengulur waktu dengan melangkah mundur saat dia mengambil satu langkah lebih dekat padaku, "Aku tak menyangka kau Luciano Marathi...."

"Kenapa?" tanyanya. "Apa yang kaupikirkan saat kau mendengar tentang Luciano Marathi?"

Aku menggedikkan bahu.

"Seorang lelaki tua hidung belang yang ingin ditemani gadis muda berlibur di Bali?"

Wajahku seketika merona panas karena dia menebak apa yang kupikirkan dengan sangat tepat. Saat ini, kepalaku pasti sangat merah sampai ke telinga. Rambutku yang dinaikkan dengan anggun oleh penata rias yang dibawa oleh Nyonya Violet tak akan bisa menyembunyikannya.

"Kau tak percaya aku bisa membayarmu tinggi untuk menemaniku selama sepuluh hari di Bali?" imbuhnya lagi.

"Bu—bukan begitu, sih... aku hanya... eum... lupakan saja. Eum... anu... yeah... tidakkah seharusnya kita... saling mengenal dulu?" kelitku.

"Saling mengenal dulu?" dia menggumam sambil berhenti merentangkan lengan dan kini melipatnya di depan dada. Bibirnya mengerucut dan alis tebalnya ditukikkan sebelah. Dia mengelus rahang perseginya yang indah berbalut rambut-rambut tipis. Kelihatan seperti sedang memikirkan usulanku baik-baik, "Apa itu berarti kau menerima tawaranku?"

"Aku membutuhkan uang," kataku terus terang.

"Ya... aku mengerti. Aku bersyukur kau membutuhkan uang. Kalau aku datang setahun sebelumnya, aku tak akan mendapatkan kesempatan ini, bukan?"

"Kau tahu apa yang menimpaku?"

"Dalam beberapa menit, aku bisa tahu segalanya kalau aku mau, Alana. Kalau kau menerima tawaranku... sebenarnya kita bisa berkenalan nanti-nanti saja. Toh aku sudah tahu segalanya tentangmu. Kau tak terlalu perlu tahu siapa aku sepanjang aku membayarmu sesuai kesepakatan kita. Aku akan membayar di muka kalau itu yang kauinginkan supaya aku juga bisa melakukan apapun yang kuinginkan."

Glek. Ludahku tertelan.

Melihatku begitu panik, pria itu malah tertawa geli. "Sejujurnya... aku sangat tertarik pada wajah ayumu yang begitu melankolis. Kau kelihatan sangat sedih, padahal dengan wajah secantik itu... kau seharusnya layak mendapatkan semua kebahagiaan di seluruh dunia ini. Aku ingin mengabadikan kesedihanmu, sekaligus kebahagiaanmu. Aku akan membuat sepuluh harimu bersamaku tak terlupakan, sehingga pada akhir perjumpaan kita... aku bisa menghasilkan lukisan tersenyum dari seorang gadis berwajah sedih."

"A—apa kau... hanya akan melukisku?"

Senyumnya lagi-lagi merekah. "Tentu saja tidak."

Aku berdeham semakin gugup. Luciano Marathi mendekat, tapi aku tak lagi melangkah mundur. Aku seakan terbius tatapannya yang menyelam ke dalam manik mataku. Tatapan itu tajam, namun redup. Aku bisa merasakan getaran-getaran aneh di dadaku saat mata kami bertemu tanpa penghalang dalam jarak yang semakin dekat. Dia kini berdiri tak lebih dari satu langkah jauhnya dariku. Tangannya terulur, jemarinya mengelus pipiku dengan lembut sehingga aku harus bertahan untuk sekadar tetap membuka mataku.

"Apa saja yang akan kaulakukan padaku?"

Luciano mendengus saat tangannya mengangkat rahangku dan ibu jarinya menyelip di antara daging bibirku. Dia menekan bibir bawahku dan mengusapnya, kemudian memasukkannya sedikit lebih ke dalam hingga menyentuh ujung lidahku. Saat jari itu dikeluarkannya lagi, bibirku turut basah. Luciano Marathi mengerang tertahan, mengerutkan hidung bangirnya yang indah. Dia menunduk, mempertemukan bibirku dengan bibirnya.

Luciano MarathiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang