"Nah... aku akan meninggalkanmu dan kembali beberapa menit lagi. Pastikan seluruh tubuhmu tergosok bersih. Aku akan membawa orang untuk mengurus bulu-bulu di tubuhmu. Luciano marathi punya permintaan khusus untuk sesuatu di bawah sana. Kalau kau maksudku," kekeh Nyonya Violet sambil mengerling nakal ke area kewanitaanku.
Aku hanya bisa meringis miris.
Kutanggalkan satu-satunya kain yang melekat di tubuhku tak lama setelah Nyonya Violet membiarkanku sendiri. Aku berbalik menghadap ke cermin besar yang memantulkan tubuhku dari ujung rambut ke ujung kaki. Kuhapus air mataku dan kubulatkan tekad. Ini kenyataan, bukan mimpi buruk. Ini lebih mengerikan. Bahkan dalam mimpi terburukku sekalipun, apa yang terjadi padaku sekarang tak pernah terbayangkan.
Kucelupkan tubuhku ke dalam bathtub luas berisi air hangat. Keping-keping kelopak bunga mawar yang sengaja ditaburkan untuk menambah aroma alami sebagian menempel di kulitku. Kurendam tubuhku hingga sebatas pundak, kulemaskan otot-otot di sekujur tubuh dan kusandarkan kepalaku di dinding bath tubh. Tubuhku perlahan merelaks, mataku memejam.
Anganku mulai melayang.
Sebutir air menetes di sudut mataku.
Sejak kecil, melihat orang tuaku begitu penuh cinta, yang kuinginkan di dunia ini adalah membentuk keluarga kecil bersama seseorang yang sangat kucintai. Ibuku menikahi cinta pertamanya, ayahku. Setiap kali aku melihat mereka, keduanya seperti tinggal dalam gelembung sabun dengan semburat pelangi yang tak bisa dimasuki siapapun. Aku sekalipun, putri yang sangat mereka cintai.
Aku ingin mencium seseorang seperti ayah dan ibuku berciuman. Begitu penuh cinta, hasrat, dan gairah, tapi juga lembut menentramkan. Ibuku tak perlu mengatakan pada siapapun betapa bahagianya ia, semua orang bisa melihat dari pancaran wajah dan sinar bola matanya. Demikian juga ayahku, dia membuat setiap wanita iri pada ibuku.
Namun, semua itu berubah seperti kisah tragis dalam film-film.
Ayahku meninggal setahun lalu gara-gara kecelakaan lalu lintas. Aku dan ibuku tengah menantinya tiba dari kantor untuk merayakan hari ulang tahunku yang ke-21. Mereka akan minum bersamaku. Ayahku akan membawa pulang sebotol vodka dan kami akan membuat cocktail pertama untuk menyambut usia dewasaku. Pacarku juga menunggu di sisiku, tapi sekarang tidak lagi. Dia menghilang saat hidupku benar-benar hancur.
Gagasan menemukan seseorang yang sangat kucintai dan mengajakku hidup dalam gelembung bahagia bersamanya dalam waktu singkat menjadi trauma yang mengerikan. Ibuku menderita depresi berkepanjangan karena tak bisa mengatasi kehilangan ayah. Berkali-kali dia mencoba bunuh diri. Belum lagi, tempat kerja ayahku mengalami kebangkrutan tak lama kemudian. Dia tak bisa membayar uang santunan yang seharusnya jumlahnya cukup besar. Tanpa adanya ayahku sebagai tulang punggung keluarga, kami tak bisa meneruskan cicilan rumah dan terancam akan segera disita.
Saat kau mencintai seseorang teramat sangat, kau tak peduli pada apapun selain dirinya. Ibuku seakan tak ingat bahwa dia masih memilikiku. Dia mengalami demensia. Setiap hari, dia mencari ayahku dan menuduhku sebagai kekasih simpanannya. Ibuku tak ingat lagi bahwa dia sudah berusia 46 tahun. Dia mengira dirinya masih berusia 21 dan sedang menunggu-nunggu kekasih yang akan datang untuk melamarnya.
Aku tak ingin lagi menemukan seseorang yang sangat kucintai jika kehilangannya akan membuatku gila.
Aku tak mau jatuh cinta.
Nyonya Violet bersama beberapa orang staf menjemputku tepat saat aku mengentaskan diri dari kubangan air hangat yang wangi dengan perasaan jauh lebih enteng. Dia membersihkan tubuhku hingga nyaris licin tanpa bulu dan menyisakan serumpun tipis di atas kemaluanku. Wanita cantik itu secara khusus memilihkan gaun berwarna putih gading dari bahan satin lembut yang hampir tak bisa menyembunyikan belahan dada dan kaki-kaki jenjangku. Walau merasa sangat risih, tapi aku tak punya tenaga lagi untuk memprotesnya.
Aku akan menyerahkan diriku pada seorang lelaki hidung belang selama sepuluh hari di vilanya untuk seratus juta rupiah. Kurasa, itu tak seberat apa yang sudah pernah kualami. Aku akan menerima nasibku dengan dagu terangkat tinggi. Kalau tubuhku bisa menyelamatkanku, aku akan menyerahkannya.
"Dia menunggumu di balkon," bisik Nyonya Violet sebelum dia setengah mendorongku masuk ke sebuah ruangan luas di dalam rumah mewahnya. Kakiku yang terbungkus sepatu berhak tinggi nyaris terseok, tapi aku berhasil menguasai diri.
Langkah-langkahku terayun pelan dan ragu. Kuusahakan hak sepatuku tak menimbulkan suara keras saat beradu dengan lantai marmer yang mengilat dan licin. Ruangan ini seperti presidential suite di hotel-hotel berbintang. Aku mengelilinginya dengan pindaian mataku seperti gadis kampungan. Tanpa sadar, aku memasuki ruang tidur di mana di sebelah kirinya terdapat sebuah balkon. Aku menoleh, mendapati seorang pria dalam busana resmi tengah berdiri memunggungiku. Jantungku berdebar. Itulah Luciano Marathi?
Dari belakang, dia jelas bukan lelaki tambun berambut putih seperti yang sempat kuduga. Dia begitu ramping dan tinggi, punggung dan pundaknya lebar dan kokoh. Aku sedang berpikir apa yang harus kulakukan selanjutnya—menghampirinya, atau menunggunya menyadari kehadiranku—ketika dia berbalik lambat dan menunjukkan wajahnya padaku.
Mataku menggeriap.
"Hai," sapanya. "Sudah kubilang... aku akan segera menemukanmu lagi."
Baca lanjutan dan langganan cerita Luciano Marathi di akun KaryaKarsa gue.Link KaryaKarsa ada di bio wattpad gue.
Jangan lu search via aplikasi, nggak akan ketemu. Akun gue restricted soalnya. Kudu via link.Supaya lebih hemat, langsung langganan aja. Soalnya kalau langganan, udah sekalian sama download pdf-nya entar
KAMU SEDANG MEMBACA
Luciano Marathi
RomanceAlana berharap suatu hari dia menemukan cinta sejati seperti yang dimiliki ayah dan ibunya. Masa kecilnya dipenuhi kenangan yang sangat menyenangkan mengenai orang tuanya yang saling mencintai. Alana berharap dia akan menyerahkan hati dan tubuhnya h...