Chapter 3.2

3.6K 23 3
                                    

Aku menangis kewalahan saat dia melepaskan bibirku, tapi seakan dia baru saja menandatangani kontrak jual beli dan sudah berhak sepenuhnya akan tubuhku, dia menyasar leherku, mengisapnya kuat.

"Ahhh... ah, tunggu," aku memohon, kutahan pundaknya yang mendesak dadaku hingga membuatku kesulitan bernapas.

Luciano Marathi memelorotkan bagian atas gaunku dengan satu tangannya dan menarik rok-ku ke atas dengan tangannya yang lain. Aku memekik kaget merasakan dua bagian tubuhku yang sangat pribadi terbuka secara bersamaan. Rok pendek yang nyaris tak menutupi kakiku sama sekali itu terangkat hingga ke pinggul, memaparkan celana dalam kecil berwarna hitam yang dipilihkan Nyonya Violet untukku. Dengan sangat kasar, tangan besar Luciano Marathi merenggut milikku dan meremasnya, kemudian menggosoknya kasar berkali-kali sampai bagian dalamku terasa sakit bergesekan dengan renda-renda celana dalam itu.

Pada saat yang sama, tubuh Luciano Marathi membungkuk ke samping kananku dan menjilat payudaraku dengan lidahnya yang basah, panas dan lebar. Serta merta, dia merengkuh bulatan dadaku dan mengangkatnya. Aku menjerit saat ujung lidahnya menekan puting susuku sebelum mulutnya membuka lebar melahapnya. Dengan rakus, pria itu mengunyah-ngunyah buah dadaku seolah dia berniat ingin memakannya sampai habis. Dia menyedotnya kencang sekali seperti bayi kelaparan. Tubuhku menggigil.

Aku menangis semakin kencang. Kalau baru beberapa menit saja dia sudah seperti ini, bagaimana nasibku sepuluh hari ke depan? Aku mengerang dan memukuli lengannya, mencoba menahan pergelangan tangan kanannya yang terus menggesek kemaluanku hingga terasa basah dan lembab.

"Hentikaaan... oh... hentikan," isakku.

Akhirnya, isakan tangisku pada satu titik mengentak kesadaran Luciano Marathi yang sudah dikuasai nafsu. Kulumannya pada dadaku terlepas, dia termangu sejenak di depan payudaraku sebelum tubuhnya yang mendesakku menjauh. Dia terpegun. Tangannya yang merenggut payudara dan kemaluanku kini merenggut kedua sisi pundakku. Matanya nanar memandangku. Dia tampak sangat kebingungan melihatku menangis tersedu-sedu. Ekspresi gahar saat gairah merajainya tadi seketika luruh. Alisnya melengkung. "Alana...?" panggilnya. "Maaf... apa aku terlalu kasar padamu?"

Napasku tersengal. Dengan sisa kekuatan yang melemas karena perbuatannya yang brutal, aku menaikkan gaunku dan mengibas cengkeramannya di pundakku dengan mudah. "Aku ingin pulang saja," rengekku.

"Apa? Tapi kenapa? Bukankah kau sudah setuju?" tanyanya keheranan.

"Kau—kau... kau sangat mengerikan!" ungkapku jujur. "Aku tahu kau sudah membeliku... tapi aku... aku takut... aku tak bisa. Maafkan aku, lepaskan saja aku. Aku mau pulang saja. Aku akan pergi dengan uang yang sudah kauberikan padaku. Kau bilang... aku boleh menyimpannya, bukan?"

"Te—tentu saja, tapi... tunggu, Alana. Biar kujelaskan dulu." Luciano Marathi masih berusaha mempertahankanku. Dia kembali mencengkeram pundakku, kekuatannya yang begitu besar mampu menghentikan getaran kuat tubuhku yang berasal dari rasa takut akan perbuatannya. "Maaf," ucapnya, sungguh penuh sesal, tapi aku tetap menggigil ketakutan. "Aku minta maaf. Apa aku menakutimu? Maafkan aku... aku tak mampu menahan diri mendengarmu menyebut namaku dengan begitu lembut. Alana... aku akan memperbaiki sikapku...."

"Kumohon... lepaskan aku.... Kumohon... aku takuuut... aku mau pulang saja."

"Kau akan memikirkannya lagi, kan?"

"Aku tak bisa," tegasku. "Aku tak berpengalaman. Aku tak tahu bagaimana menyenangkan laki-laki di atas ranjang. Aku takut aku tak bisa memuaskanmu, Tuan Marathi."

"Oh, Alana... kau pasti bisa. Aku tidak mencari pengalaman. Aku sudah terpikat padamu sejak pertama kali kita bertemu, aku tak peduli kau bisa memuaskanku, atau tidak. Tinggal lah, kumohon... aku ingin melukismu... aku ingin—"

Luciano MarathiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang