Chapter 5.1

2.1K 13 0
                                    

Di karyakarsa gue udah tamat dan bakal segera ada PDF. Buruan langganan.
***

Tubuhku kaku.

Sebuah pukulan telak yang terdengar cukup nyaring menghantam tengkuk si bejat Andres. Dia memelotot. Kemudian seakan nyawanya dicabut, dua bola matanya menggulir ke atas. Tubuhnya mendadak lunglai, dia hilang kesadaran, dan menimpa tubuh telanjangku. Suara berdebum keras saat seluruh berat bedannya jatuh mengimpit membarengi pekikanku. Aku mengerang jijik. Penis keras Andres berada di atas milikku yang basah. Membuatku ingin muntah. Aku berusaha menggulingkan tubuhnya dari atasku dengan sekuat tenaga. Siapapun yang menolongku malam itu lantas turun tangan sekali lagi dan menghempasnya dari atas tempat tidur. Tenaganya begitu besar. Tubuh Andres terguling dan jatuh ke lantai dengan sangat keras. Aku tidak bisa bergerak. Tubuhku masih menggigil. Aku telentang di atas kasur.

“Kau tidak apa-apa?” tanya orang itu.

Air mataku masih mengalir. Pandanganku buram. Namun, aku masih bisa melihat siapa yang berdiri menjulang di atasku sambil melepas jaketnya. Luciano Marathi. Apa yang dilakukannya di sini? Dia membungkus tubuhku dengan jaketnya. Aku meringkuk seperti tanda koma di balik bahan kulit yang lebarnya cukup besar untuk menutupi dari pundak hingga ujung kakiku. Kudengar Lucia bertanya lagi, tapi aku tidak sanggup menjawabnya. Tubuhku sangat lemas. Aku belum bisa bangkit duduk. Aku terguguk menangis meratapi nasibku. Ya Tuhan… apa salah dan dosaku? Kenapa semua ini menimpaku? Bisa-bisanya pamanku, orang yang seharusnya melindungiku, justru melakukan hal sekeji itu padaku? Dia adik lelaki kandung ayahku. Demi Tuhan. Apa dia sudah gila?

“Aku turut menyesal semua ini terjadi padamu,” tutur Luciano Marathi lembut. Dia menyentuh pinggulku di balik jaketnya dan membuat tubuhku seperti tersengat.

“Maaf,” katanya lagi gara-gara reaksiku. “Kau pasti takut sekali….”

“A—apa yang kaulakukan di sini?” tanyaku. “Apa kau mengikutiku?”

“Ya… aku menyesal membiarkanmu pergi begitu saja,” tuturnya. “Tadinya aku mengira… besok pasti akan ada gadis lain yang lebih mudah kudapatkan… tapi… entah kenapa… tahu-tahu aku sudah menunggangi motorku menuju kemari. Perasaanku tak enak. Maafkan aku—”

“Tidak,” kataku. Aku menggeleng, kemudian terisak-isak. Setelah keterkejutanku melihatnya muncul di dalam kamarku lenyap, tubuhku kembali lemas. Aku langsung merasa aman di sisinya meski tubuh Andres masih ada di sana. Rasa syukur mengaliri sanubariku. Aku menggigil. Belaian Luciano Marathi di rambutku membuatku teringat kembali bagaimana rasanya terlindungi. Sejak ayah tiada, aku tidak pernah lagi merasa seperti ini.

“Dia memperkosaku…,” aku merengek dan mengadu walaupun Luciano Marathi pasti sudah tahu apa yang terjadi. “Dia pamanku… dia seharusnya melindungiku…. Dulu dia begitu baik. Dia selalu memelukku. Dia bilang aku sangat cantik dan dia tidak akan membiarkan siapapun menyakitiku. Ayahku bahkan selalu menitipkanku padanya saat aku kecil. Kenapa dia jadi begini? Kenapa semua orang berbuat begitu kejam padaku?”

“Alana…,” desah Luciano Marathi. Dia duduk di tepi tempat tidurku dengan hati-hati, lalu menggamit jemariku dan membawa kedua tanganku di pangkuannya. “Kadang… orang berbuat jahat hanya karena mereka bisa melakukannya. Dia melihatmu lemah tak berdaya. Alih-alih melindungi, dia justru menjadi sumber malapetaka bagimu.”

“Dia keluargaku satu-satunya… ibuku sudah tidak bisa diajak bicara… dia malah memusuhiku dan selalu menganggapku sebagai perempuan yang merebut suaminya… aku harus bagaimana? Bagaimana kalau dia siuman dan kembali menyerangku?”

“Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi,” katanya.

“Sungguh?”

“Mulai sekarang… aku yang akan melindungimu.”

Luciano MarathiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang