"Jika aku bisa memilih aku hanya ingin terlahir biasa-biasa saja."
Otak yang cerdas, visual sempurna dan bahkan orang tua yang kaya raya tidak menjamin sebuah kebahagiaan.
Seorang lelaki jakun dengan tubuh kurus keluar dari rumahnya, dia memakai seragam sekolah lengkap dengan ransel hitam di punggungnya, padahal langit masih petang, masih terlalu pagi untuk seorang siswa berangkat ke sekolah.
Dia berjalan dengan langkah lelah seolah tak punya tenaga, rambutnya berantakan, matanya bengkak dengan lingkaran hitam menghiasinya, dibalik wajahnya yang kusut itu, tampak kecemasan dan ketakutan menyelimutinya.
Dia berjalan ke arah yang berlawanan dari sekolahnya, sesekali matanya yang bengkak memindai sekeliling seolah mengharapkan tak ada seorang pun yang melihatnya.
Dia berjalan ke pemukiman kumuh yang sangat gelap tanpa lampu penerangan, ada bau tak sedap saat memasuki pemukiman itu, setumpuk sampah berserakan dimana-mana, dan tampak air got mengalir tepat di sisi kirinya.
Semakin dia masuk aroma tak sedap itu semakin parah, jika di awal hanya aroma sampah dan air got, saat di dalam, aroma itu bercampur dengan aroma pesing bahkan kotoran manusia jadi satu.
Jika seseorang yang tidak pernah ke tempat itu atau yang pertama kali pasti akan muntah dan tidak tahan dengan aromanya, tapi pria jakun itu dengan santai melewatinya seolah sudah terbiasa.
"Tok!tok!tok!" Dia mengetuk pintu bercat kuning, sebuah kontrakan satu petak kecil yang berada di sudut pemukiman, setelah melewati gang-gang sempit dan berbaur dengan aroma tak mengenakkan.
Tanpa menunggu jawaban dari pemiliknya dia membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan yang gelap dan pengap begitu terasa saat memasukinya.
"Buk!" Sebuah pukulan melayang mengenai wajahnya saat dia di dalam ruangan itu.
Tubuhnya yang lemah dan sedari tadi gemetar segera terjatuh dengan wajahnya membentur lantai.
Bayangan gelap seorang pria dengan tubuh atletik layaknya model menatap arogan padanya, di belakangnya ada dua pria lainnya yang juga menatap dengan tatapan jijik, sambil tangannya menutup rapat hidungnya.
"Dasar bodoh!" teriaknya, matanya yang tajam memandang rendah dengan banyak penghinaan.
Setelah mengatakan itu dia segera pergi bersama dua orang yang mengikutinya dari belakang.
Dia meringkuk dengan tubuh bergetar, tangisan meledak tiba-tiba terdengar dari bibirnya yang berdarah. Dia menangis cukup lama dan berhenti setelah mendengar sebuah langkah kaki tak jauh dari tempatnya.
Setelah suara langkah kaki itu perlahan menjauh, dia terduduk lemas menatap kosong ke arah pintu yang di lewati ketiga pria tadi, ada sebuah penyesalan dan rasa sedih dari sorot matanya seolah berharap mereka tidak meninggalkannya sendirian.
"Maaf, gue lebih suka mati," bisiknya.
Tangan menyentuh wajah bekas pukulan tadi dia meringis kesakitan saat jarinya mengenai luka itu. Kemudian dia bangkit meninggalkan tempat itu.
Sambil dengan langkah terhuyung pria jakun itu melangkah menuju sekolahnya, kepala tertunduk dengan tangan memegangi erat tudung jaketnya, dia menariknya ke bawah berusaha untuk menutupi luka di wajahnya dari orang-orang di sekelilingnya. Jalanan sudah ramai, tidak seperti saat dia keluar tadi, sudah banyak orang beraktivitas.
"Brengsek!" Dia berhenti tak jauh dari sekolahnya, menatap gerbang yang masih terkunci.
"Srek ..." Tak lama petugas keamanan membuka gerbang, segera dia berlari dan masuk menyelinap. Dia berjalan menaiki tangga di ujung gedung dan menghilang di balik tangga.
***
Masih pagi setelah jam pelajaran pertama selesai, di sebuah sekolah elite SMA Alexandria sekolah khusus putra yang memiliki bangunan dan fasilitas mewah, dan juga yang berisi siswa-siswa kalangan atas anak-anak dengan orang tua kaya raya. Sekolah yang terkenal dengan siswa berprestasinya kini sedang gempar, para siswa, guru bahkan para staf, berlari-lari di lorong sekolah dengan terburu-buru, mereka menuju ke lapangan dan beberapa menuju ke atap sekolah seolah ada sesuatu yang menarik.
Sebelumnya salah satu siswa yang awalnya ingin bolos jam pelajaran tiba-tiba berteriak histeris.
"Tolong! Ada yang mau lompat!" Dia berlari ke tengah lapangan sambil tak henti-hentinya berteriak membuat kegaduhan dan terjadilah keributan.
di jam pembelajaran yang biasanya sunyi kini sangat ramai, bahkan para pedagang yang biasa mangkal di sekitar sekolah ikut berkumpul memasuki sekolah yang biasanya melarang mereka masuk sembarangan. Mereka semua berkerumun di lapangan menatap ke atas atap gedung lantai empat.
Seorang siswa dengan tatapan kosong berdiri di bibir tembok, dia berdiri dengan tubuh tegak tak tergoyahkan meski angin bertiup sangat kencang mengenai tubuhnya kurus, rambutnya yang hitam bertebaran tertiup angin. Sesekali menutupi kacamatanya yang berembun karena air mata. Kulitnya pucat seperti mayat, di bibirnya ada sayatan kecil dan ada beberapa luka memar yang kemerahan dan beberapa membiru di wajahnya.
Guru-guru orang yang mengetahui identitas siswa itu sangat terkejut dan tidak percaya karena dia adalah siswa yang mereka kenal cukup baik, tidak banyak tingkah dan disukai apalagi di kalangan guru-guru.
Kim Taehyung itu lah namanya. Siswa kelas XII berusia 16 tahun yang banyak di hindari teman-teman kelasnya, bukan hanya karena penampilannya yang cupu tapi juga karena alasan lain. Dia berusia lebih muda dibanding temannya yang lain berkat kelas akselerasinya karena dia memang anak dengan otak genius, karena itulah dia banyak di sukai guru karena kepintarannya, dia juga sering menyumbang piala penghargaan untuk sekolahnya dari beberapa kali dia ikut serta dalam perlombaan baik tingkat nasional ataupun internasional.
"Kemarilah nak," panggil seorang pria tua dengan rambut putih penuh uban. Wakil kepala sekolah SMA Alexandria, sosok guru yang banyak di sukai siswa-siswa karena kebaikan dan keramahannya layaknya sosok ayah di sekolah. Dia menatap dengan sedih punggung siswa yang sangat ia bangga-banggakan.
"Jangan melakukan hal yang menyakitimu, jadi turunlah!" teriak seseorang di samping pria tua itu. Pria muda dengan wajah tampan, gaya pakaian sangat rapi. Dia adalah guru BK, bernama Park seo Joon yang terkenal di antara staf dan guru-guru perempuan.
Suara bujukan dan apa pun yang mereka ucapkan tak berguna. Taehyung, siswa itu hanya diam seolah tidak mendengar apa pun.
"Kemarilah nak! Dengerin bapak!" teriak kembali wakil kepala sekolah. Angin di atap sangat kuat sehingga membuat rambutnya yang putih itu berantakan, sesekali mengucek matanya yang sudah rabun karena debu yang tertiup angin mengenai matanya.
Pria tua beruban itu mencoba berjalan dengan langkah gemetar mendekati Taehyung yang berdiri di ujung atap.
"Pak, jangan ke sana biar aku saja," cegah Seo Joon, menghentikan wakil kepala sekolah sambil menatap kakinya yang gemetar.
"Biar aku saja!" ucap Seo Joon lagi meyakinkan menatap mata wakil kepala sekolah yang ragu. Akhirnya pria dengan rambut beruban itu pun berhenti setelah di yakinkan oleh Seo Joon, si pria muda tampan itu.
"kalau begitu tolong hentikan dia."
Seo Joon mengangguk sambil diam-diam mendekati siswa itu, tubuhnya juga gemetar apalagi saat dia menatap jauh ke bawah. Semua orang sibuk meneriaki dari bawah, dia juga sudah melihat petugas pemadam kebakaran baru saja tiba untuk mengevakuasi.
"Taehyung ah ... jangan begini, mari bicara sama bapak ya ..." suara Seo Joon ikut bergetar saat dia mengucapkannya. Dia melangkah semakin dekat untuk peraih siswa itu, sayangnya tak lama setelah dia makin dekat siswa itu sudah terjun ke bawah.
"Ahh ..." suara teriakan begitu jelas terdengar.
orang-orang di bawah yang berkumpul berusaha menangkapnya tapi tidak bisa, karena Taehyung melompat dan menjatuhkan tubuhnya di posisi yang tak ada orang.
Darah merah kental memercik dimana-mana. Suara benturan keras terdengar sangat mengerikan bersama teriakan orang-orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and Seven Flower Boys
FanfictionBagaimana rasanya jika kehidupanmu dikelilingi oleh tujuh pria tampan? Apakah akan seperti kisah romantis yang sering muncul di drama-drama? Lee Jieun, dialah gadis itu. Gadis berusia 16 tahun yang merasakan bagaimana rasanya hidup dikelilingi banya...