Angan

243 28 38
                                    

Meskipun Xavier telah menyiapkan kemungkinan yang terburuk. Dia tidak menduga akan mengalaminya dalam waktu dekat.

Tak lama ia berkutat dengan pekerjaannya, ia mendengar kabar bahwa ibunya tidak lagi terbangun. Spontan, ia melupakan tugasnya memeriksa pasien demi menemui ibunya.

Aamon menahan dirinya untuk tidak langsung menyerbu masuk ke kamar ibunya. Dia menenangkan Xavier yang berseru memanggil ibunya. Dokter yang menanganinya beserta perawat lainnya telah menggunakan segala cara agar sepasang mata ibunya terbuka.

Tapi, nihil.

Xavier hanya bisa terdiam setelah ranjang beroda ibunya dibawa keluar. Dokter yang menanganinya--Roger, hanya meminta maaf karena tidak berhasil membuat jantung ibunya kembali berdetak.

Pria itu hanya memegang wajah ibunya yang terpejam seolah-olah sedang tidur. Kemudian, seulas senyuman tipis dengan mata berkaca karena hari-hari yang dihabiskannya tidaklah sama lagi.

Di matanya, hanya ibunya merupakan orang paling berharga. Wanita yang telah melahirkannya itu merupakan satu-satunya orang yang Xavier kasihi selama ini.

Xavier membiarkan ibunya dibawa ke kamar jenazah sebelum proses pemakaman dimulai. Aamon yang berdiri disampingnya dengan wajah sedikit memar dan perut nyeri karena ulahnya hanya menepuk bahunya pelan.

"Aku minta maaf, Xavier."

Pria bersurai biru itu merasakan tepukan di bahunya kemudian mengerjapkan matanya dua kali. Xavier berusaha menetralkan ekspresinya sebelum berbicara.

"Untuk apa kau minta maaf?"

Aamon tidak menjawab. Dia memilih diam memandang Xavier yang menatap lurus ibunya pergi.

"Kau tidak perlu meminta maaf." lanjut Xavier pelan. "Seharusnya aku sudah menduga bahwa operasi itu akan berefek besar pada ibuku."

"Xavier..." panggilnya sedikit cemas. Aamon khawatir pria itu akan menggila setelah kepergian ibunya begitu mendadak.

Seharusnya beliau sudah mendengar kabar ini mengingat pria paruh baya itu merupakan direktur rumah sakit departemen ini. Tangan Xavier mengepal kuat karena tahu sampai kapanpun ayahnya tidak akan pernah datang melihat ibunya.

Meskipun hubungan orangtuanya sebatas pernikahan saling menguntungkan, tidak seharusnya beliau memilih menutup mata di hari terakhir kepergian ibunya.

Xavier mendecak sambil mengacak-acak surai biru ikalnya. Dia merasa kesal tanpa sebab, mungkin dia harus mengunjungi kelab malamnya demi meredakan rasa frustrasinya dengan alkohol.

"Jangan berpikir untuk mabuk, Xavier." ancam Aamon seolah tahu apa yang akan temannya lakukan setelah mengalami kejadian menggemparkan ini.

Xavier menengok kearah Aamon sekilas sebelum melangkah pergi. Dia harus berterima kasih karena Aamon sudah memperingatkannya untuk tetap menjaga kewarasannya.

Dia harus pergi mengurus pemakaman ibunya setelah shiftnya selesai. Oleh karena itu, ia tidak boleh mabuk barang perasaan pribadinya sendiri.

Xavier mengingat kembali perkataan terakhir ibunya. Dia menghela nafasnya sambil berjalan pergi menuju ruang jenazah.

"Tapi, Xavier.... walaupun ibu tak bisa melakukan apapun demi meredakan kebencianmu terhadap ayahmu. Ibu ingin kau bisa menentukan pilihanmu berbahagia."

"Kau bisa melakukan itu untuk ibu kan?"

Tentu saja aku bisa, batin Xavier karena ibunya tidak ingin lagi merasa hidupnya terkekang.

Meskipun ia gagal mengikuti ujian akademi kepolisian, bukan berarti Xavier gagal di ujian bidang lainnya. Hanya saja ayahnya itu sangatlah menuntut dirinya untuk melanjutkan karirnya menjadi dokter agar ia bisa mewarisi gedung departemen yang telah ayahnya bangun sedari lama.

Bittersweet Relationship Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang