Ku katakan aku mencintaimu, setinggi matamu menatap langit bahkan sedalam ketika kamu memikirkan sebuah palung yang paling dalam.
-
Untuk kesekian kalinya Gei menghembuskan nafas dengan kasar. Hari ini adalah jadwalnya bermain skateboard tapi lihat apa yang terjadi. Seorang Damarion Sadananda dengan gagah berani berdiri menghadang jalannya, lengkap dengan tangan yang berkacak pinggang.
"Lo kalo nggak main skateboard sekali nggak akan mati Gei." Terang Dama yang langsung mendapatkan pelototan dari Gei.
Astaghfirullah, mulutnya ngga pernah baca yasin nih bocah, Batin Gei.
"Jelek banget mulut lo kalo ngomong. Gue main skateboard kan cuma sebulan sekali. Masa yang kaya gini bakal lo larang sih." Gei menggelengkan kepalanya dengan heran.
Kalau alasan Dama karena dia belum sembuh, jawabannya adalah salah. Gei sudah sembuh sejak kemarin. Lagi pula ini sudah lewat tiga hari dari hari pertama dia sakit, lalu apa yang saat ini lelaki itu takutkan? Tapi ya memang Dama saja yang lebay.
"Gue nggak ngelarang Gei, lo itu masih sakit, belom boleh ke mana-mana. " Gei menatap tak percaya.
Tuh kan.
"Dama! Gue udah sehat, nggak usah berlebihan deh. Perasaan gue yang sakit kenapa lo yang heboh banget sih." Gei sedang tidak ingin berdebat. Tapi ya bagaimana manusia yang ia hadapi adalah Dama. Mau mengelak sampai menimbulkan perdebatan yang menguras tenaga pun lelaki itu akan tetap pada pendiriannya. Dama itu seperti batu. Keras dan sulit di pecahkan. Sekalipun sudah di pecahkan Gei masih sangsi apakah kepingan-kepingan batu itu akan berubah melunak atau malah sebaliknya.
"Obat lo belum habis ya Gei, jadi gue anggap lo belum sehat."
Gei pikir, sehat bukanlah soal obat yang sudah habis atau masih utuh tak tersentuh. Ia sudah merasa jauh lebih baik ketimbang kemarin, bukankah Dama sendiri yang merawatnya. Terakhir dia lihat obat yang selama ini ia konsumsi sudah berkurang cukup banyak. Sisanya pun bisa di hitung menggunakan jari, lalu kenapa harus sampai habis jika bisa buat persediaan yang akan datang.
Bukan, bukan Gei berniat ingin sakit lagi. Hanya saja terkadang jalan pikiran seorang Dama itu terlalu realistis. Seperti kalau mau sembuh ya obatnya harus habis tak tersisa. Padahal tanpa obat itu habis pun Gei sudah bisa sembuh.
Gei berhasil berhenti diambang pintu, berbalik menatap Dama tanpa sepatah katapun. Percuma, mau sekuat apapun Gei beralasan Dama tetaplah Dama.
"Terserah lo deh, gue capek."
Selama ini Gei dan Dama selalu dalam jalan pikiran yang tidak searah. Jika Dama ingin berbelok ke kiri, maka Gei adalah sebaliknya. Dama adalah tipe yang selalu mempertimbangkan akibatnya, maka tidak jarang lelaki itu selalu memilih sesuatu yang berlawanan dengan Gei.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEISHARA
Fanfiction[Rigel's Project] - 𝓐𝓷𝓭 𝓘 𝓶𝓪𝓷𝓪𝓰𝓮𝓭 𝓯𝓲𝓵𝓵 𝓲𝓷 𝓽𝓱𝓮 𝓰𝓪𝓹𝓼 𝓲𝓷 𝓸𝓾𝓻 𝓼𝓽𝓸𝓻𝔂. ©rigelriustar'story2022