Padi merunduk bergoyang kesana kemari mengikuti alunan angin berhembus. Memberikan efek domino hingga tak terjangkau mata sangkin terbentang luas. Terbelah setiap kali menemukan saung saung yang didirikan di beberapa titik. Indah membelai mata bagai lukisan cat minyak zaman dulu namun jauh lebih nyata.
Di tengah ladang tersebut, dibuatlah jalan setapak sebagai jalan utama tempat dimana orang orang berlalu lalang. Sebagian dari mereka ada yang membawa gerobak penuh berisikan hasil panen dari kebun, sebagian lagi membawa kendi yang ditaruh diatas kepala, beberapanya membawa peralatan bertani. Meski beragam, semuanya tetap sama. Menyapa Dewi Kadita penuh hormat setiap kali mereka berpapasan. Sapaan tersebut pun selalu berbalas lemah lembut, layaknya seorang ratu agung memancarkan keanggunan, memperlakukan rakyatnya sebagaimana mestinya.
Namun begitu, meski tentram tergambar, sebenarnya lirikan mereka semua beberapa kali tertuju pada pendatang baru yang kini mulai mampu melepas tegang mencoba menikmati keindahan yang disodorkan alam. Bagaimana tidak? Mengenakan pakaian berbeda berwarna putih terang dikala yang lainnya mengenakan pakaian normal berwarna hijau dan emas... pendatang tersebut menjadi jelas mencolok.
"Ini laporannya Nyi."
Salah seorang yang diduga kepala petani separuh membungkuk menyodorkan sebongkah batu sudah dipotong berbentuk tablet penuh berisikan aksara Jawa.
Mengernyitkan dahi Lois yang bertanya tanya sejak kapan ia bisa membaca aksara tersebut. Terlebih lagi, dirinya baru sadar kalau selama ini tidak ada kendala bahasa yang dihadapinya. Sihir? Ia memijat dahi berpikir otaknya sudah mulai konslet. Yang sudah pasti sikap tersebut menjadi salah satu kekhawatiran Dewi Kadita.
Dalam hati Dewi Kadita mulai bertanya tanya apa yang bisa membuat tawanannya ini merasa nyaman kalau keindahan alam saja tak mampu mengangkat suasana hati. Namun tak ada satupun ide yang muncul apalagi dirinya juga sedang bekerja dan membutuhkan konsentrasi lebih. Akhirnya di kembalikanlah bongkahan tablet yang ia pegang kepada kepala petani. Pergi dari sana dan wanita dibelakangnya tetap mengintil. Tanpa sepatah kata, memberikan canggung yang tak terelakkan. Harus membahas sesuatu. Harus mencari topik. Tapi apa ya? Dewi Kadita berbalik. Menubruk Lois yang jalan sambil melihat ke ladang. Dan ia mendapatkan permintaan maaf. Sejenak otaknya berusaha mencerna. Ia menerka kalau Lois bukanlah anak berperangai kasar seperti yang sudah di tunjukkan. Semakin yakin karena wanita itu juga bisa membantu memungut buah yang terjatuh dari gerobak. Tanpa sadar bibirnya mengembang penuh. Ia bertanya pendapat wanita itu akan kerajaannya.
"Ah, mirip pedesaan."
Eh? Ah ya, wanita itu memandang dari kacamata peradaban di darat. Apa yang ia harapkan memangnya? Dipuji memiliki teknologi lebih maju?
"Pedesaan bukan hal yang buruk. Aku tinggal di kota besar jadi pemandangan seperti ini hampir mustahil ditemukan kecuali pergi ke daerah."
"Kalau begitu aku senang mendengarnya. Ceritakan padaku, seperti apa kota besar tempat asalmu." Dewi Kadita kembali berbalik memandu jalan. Mendengarkan cerita jalanan semrawut dipenuhi kendaraan angkutan umum nangkring memblokir separuh jalan di beberapa titik. Lanjut ke makanan pinggir jalan yang tak kalah sama memangkas jalan. Dan tanpa disadari, percakapan mengalir begitu saja. Tanpa disadari pula, Dewi Kadita terpana untuk yang kesekian kalinya setiap kali Lois memperlihatkan senyum ramah yang tak pernah ditunjukkan sebelumnya. "Ngomong ngomong aku belum tahu nama mu."
"Lois."
"Nama yang trendi."
"Masa sih? Clarisa, Jimmy, Kevin sepertinya lebih trendi."
"Menurutku, tetap Lois."
"... garing ih." tulang punggung Lois menegang, pupil hitam legamnya melirik kesana kemari. Pembicaraan berhenti sampai di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Queen from Southern Sea
Fantasy*Note : Buku ke 15 O Yen [search : mencret9x] Bosan dengan wajah prajurit dan budak yang sama Nyi Roro Kidul memutuskan untuk mencari mangsa baru, pergi ke gerbang tempat dimana salah satu pintu kerajaannya terletak. Diam diam memantau dari permukaa...