Chapter 3 - ep 1

633 70 0
                                    

Burung burung kecil bertengger di atas genteng tengah berpadu suara ria ditemani dedaunan saling bergesek setiap angin berhembus menarikan sisa daun yang telah gugur menghiasi halaman depan kediaman Nyi Roro Kidul. Hari yang tentram? Ya. Hari yang membosankan? Ya.

Seperti biasa, setiap kali Dewi Kadita meninggalkan Lois sendirian akan ada dua pengawal siluman yang datang. Seperti biasa pula, mereka duduk di undakan asyik ngopi bersama. Bersenda gurau... ralat... bergosip... apapun yang bisa dijadikan pembahasan, kebanyakan sebenarnya menggosipi ratu mereka. Kali ini, topik mereka adalah kejadian di pasar malam tempo hari.

Buaya pertama kembali menanyakan hubungan Lois dengan Dewi Kadita.

Buaya satunya lagi membantu ketika Lois menjawab asal.

Dan terjadilah ketidak percayaan seperti yang sudah sudah.

"Tapi kau dekat toh dengan Nyi Roro?"

"Kalau kalian sebut terjebak sama dengan dekat? Jawaban-nya iya."

Tiba tiba kedua buaya itu menghayal seperti apa jadinya nanti hubungan Lois dan Dewi Kadita. Ada yang berujung bahagia ada yang berujung sedih.

Manapun itu Lois tak ingin dengar. Diputuskannya untuk berkunjung ke rumah sakit.

Membuat kedua buaya itu saling menatap satu sama lain meski akhirnya mengiyakan mengawal Lois sampai di tempat lalu berdiri mengapit satu satunya pintu keluar masuk yang ada.

Lois menyapa Mbah yang tetap sibuk kesana kemari mirip gosokan baju. Mendapat pasien dadakan di ruang kontrol, belum sempat dirinya komplain Mbah sudah pergi ke ruangan yang lain. Sungguh ia menyesal sudah datang berkunjung meski dirinya tetap menyambut pasien yang datang.

"Kau lagi?" menutup tirai memberikan kesan privasi.

"Oh! Ya! Aku datang untuk mengecek kaki."

Apalagi memangnya? Di mintalah gadis itu untuk berbaring. Lois membuka perban yang masih membalut, menekan sisa bengkak disana, mengganti perban yang baru.

"Ummm..." dikala Dian mengumpulkan keberanian memperkenalkan diri.

Lois sudah mengambil tablet yang isinya riwayat pasien. Menyebutkan nama disana, mengejutkan Dian. "Kau tak bisa bertarung, kau bukan petarung, kenapa tidak kabur saja?"

Dian menggeleng polos. "Tidak bisa, jasad ku sudah tiada. Dan walaupun masih ada yang bisa membawa ku kabur cuma Nyi Blorong dan Nyi Roro."

"Lalu kau tidak berpikir untuk pindah emmm... divisi?"

"Divisi?" Dian menggeleng sekali lagi. "Saat aku terbangun aku sudah berada di bawah pimpinan Nyi Blorong, sepertinya mustahil untuk minta pindah divisi."

Giliran Lois yang mengangguk paham. "Tiga hari lagi perban mu boleh dibuka, silahkan kembali ke tempat latihan." 'Cuma Nyi Blorong dan Nyi Roro' huh? Lois menaruh tablet yang ia pegang kembali ke meja. Keluar dari sana tapi Dian malah mengintil di belakang. Detik itu juga Lois membalikkan tubuh menyilangkan tangan meminta penjelasan dengan tatapannya yang menajam. Dan Dian cuma tersenyum entah pura pura lugu atau memang lugu betulan.

"Dari sekian banyak dokter yang ku temui, kau yang paling tidak ramah."

"Maksud mu si tetanus itu? Bukankah disini cuma ada satu dokter?"

"No no." menggoyangkan jari telunjuk ke kiri dan ke kanan.

Hah? Dia bisa bahasa Inggris?

"Terkejut ya? Aku mati baru baru in..."

Tiba tiba Lois menowel sebelah pipi Dian, terasa nyata terasa empuk mirip daging betulan. Detik itu juga Lois memegang kepala dengan kedua tangan nyaris histeris. Berpikir bisa jadi sekali kalau dirinya sekarang sudah mati mengingat sudah beberapa hari ia terjebak dimari. Ah... sia sia sudah perjuangannya. Tunggu sebentar, bukankan Blorong bilang... tidak tidak... pasti ada cara lain untuk kabur selain melalui dua orang tersebut.

My Queen from Southern SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang