Chapter 1 - ep 3

756 89 0
                                    

"Kau tahu kalau total harga pakaian sederhana ini mencapai satu juta?" murka jelas kentara dari balik nadanya yang berat. "Kau menghancurkan pakaian ku satu satunya!"

"Aku tinggal memberikanmu sepuluh pakaian terbaik saja kan?"

"Kau tidak paham." menggeleng memijat batang hidung. "Aku tak akan pernah mengenakan pakaian adat!"

'Kau tidak paham. Kau tidak paham. Kau tidak paham.' kalimat itu tetap terngiang meski langit telah berganti malam. Dewi Kadita menoleh memandang Lois yang sedari tadi bersembunyi di balik selimut miliknya. Menolak untuk diajak bicara bikin sakit kepala. Ia memejamkan mata. Memusatkan kekuatannya pada titik tengah diantara kedua alis, memanggil Mbok agar segera menghadapnya. Tak lama setelah itu yang dipanggil pun mengetuk pintu. Dewi Kadita mempersilahkan masuk. Menyerahkan gumpalan kain berwarna putih masih basah kepada Mbok, minta dibuatkan model yang mirip sebanyak sepuluh helai.

Mbok yang manut pun membungkuk undur diri. Namun sebelum berbalik Dewi Kadita memanggil lagi. Kali ini minta dibawakan makanan ke dalam kamarnya. Sekali lagi Mbok membungkuk. Meninggalkan mereka cukup lama memberikan waktu kepada Dewi Kadita untuk berpikir mencari akal menjamah manusia tukang meledak yang satu ini.

Di putuskanlah duduk disamping wanita itu. Menoel dengan ujung jari telunjuknya. Satu kali... dua kali... tidak bergeming. Tiga kali... empat kali... yang di toel bergerak menjauh. Menarik urat di pelipisnya, ia menghela nafas panjang. "Pundak mu akan kaku kalau tidur dalam keadaan rambut basah."

"Mitos."

"Apa?"

"Mitos!" Lois menampakkan kepalanya menghadap Dewi Kadita ketus. Berdengus kencang lalu kembali bersembunyi.

Dasar bocah, nyebelin, angot, tidak tahu diuntung... Oh, ternyata enak ya jadi penggerutu.

Dewi Kadita malah keasikan memaki dalam hati. Lupa akan tujuannya sampai Lois kembali menunjukkan wajah.

"Aku ingin sendirian."

"Permintaan ditolak. Aku tak tahu apa yang akan kau lakukan kalau dibiarkan sendirian. Lagi pula memangnya kau sanggup melihat siluman? Aku baik juga ada batasnya loh."

Lois membalikkan tubuh menyumpah menggunakan bahasa yang tidak di pahami Dewi Kadita. Meski demikian, Dewi Kadita tersenyum mengusap kepala Lois lembut.

"Maukah kau menceritakan pengalamanmu terhadap baju adat? Tadi kau terkesan seperti benci sekali."

"Untuk apa kau tahu?"

"Untuk mengenalmu lebih dekat."

'Untuk mengenalmu lebih dekat.' ucapan tersebut mengingatkan Lois akan Wulan saat mereka masih menjadi rekan kerja yang baik. Waktu itu mereka sedang makan di kantin rumah sakit. Entah bagaimana pembicaraan bergulir membahas pakaian dan Wulan menjabarkan tendensinya yang gemar menggunakan brand yang sama dengan warna warna seragam sudah dibuatkan tema. Waktu itu, ia tidak tahu kalau dirinya sudah lama diperhatikan. Saat ditanya untuk apa dirinya diperhatikan, ia mendapatkan jawaban tersebut. Sejak saat itu ia pun melakukan hal yang sama sampai akhirnya ia menaruh ketertarikan. Sungguh sebuah jebakan. Namun demikian kali ini ia tetap menceritakan pengalamannya. Berpikir kalau suatu saat nanti dirinya akan kembali ke permukaan dan tak akan pernah menyentuh atau pun mendekat ke laut, menceritakan sepotong kisah bukanlah hal yang bermakna.

Lois membuka suara. Memanggil kembali ingatan akan dirinya yang dipaksa mengikuti sebuah acara pakaian adat yang diselenggarakan sekolah dasarnya. Kala itu sudah sekuat tenaga ia menolak sampai mencari alasan berpura pura sakit untuk bolos, tetap saja ibunya menyeret. Mendandani-nya sudah mirip dandanan ondel ondel, ditambah pakaian kebesaran sampai harus pinggulnya di ikat tali rafia guna menyanggah sarung. Belum lagi warnanya yang norak perpaduan antara pink terang dan hijau lumut gelap. Jangan lupa sanggul bohongan yang juga kebesaran, sukseslah ia menjadi bahan gunjingan dari belakang meski para orang yang lebih tua tetap memujinya sekedar sopan. Tetap saja itu salah satu pengalaman memalukan. Tidak selesai sampai disana, saat disuruh maju ke atas panggung dirinya diminta berlaku anggun dengan cara menekuk lututnya sedikit dan kedua tangannya dirapatkan di depan dada. Sambil menahan sarung yang kedodoran, patut di garis bawahi. Benar benar pengalaman yang traumatis.

"Tapi kau tidak membenci ibumu?" masih membelai.

"Emmm... entahlah, hubungan kami cukup terjal. Apalagi saat orang tua ku cerai, kami semakin kesulitan barang sekedar melakukan komunikasi sederhana."

"Kalau dengan ayahmu?"

Lois menaikkan sebelah pundak. "Entah sekarang ada dimana."

Daun pintu diketuk. Mbok datang membawakan dua porsi nasi bakar, satu teko teh hangat dan buah buahan.

Dewi Kadita meminta Mbok menaruh nampan di atas ranjang. Ia bertanya adakah hal yang ingin diketahui Lois saat Mbok sudah pamit undur diri. Dan yang di tanya menggeleng. "Kau yakin?"

"Ya. Aku tahu cerita kau pernah mengidap penyakit kulit di guna guna oleh ibu tiri mu sebelum terjun ke laut. Aku tahu cerita kau menjawab pertapaan Blorong saat dia diusir."

"Kau tahu lebih banyak dari yang ku kira."

"Sudah ku bilang itu cerita anak, siapa yang tidak tahu."

"Tapi kau percaya semua cerita itu betulan terjadi?"

"Tidak." terdengar mantab.

"Dasar orang modern." Ditariknya selimut yang menutupi Lois. Mengekspos tubuh bagian atas wanita itu. Ia terkesima melihat otot otot ramping yang menonjol di sekitar tangan dan perut. Tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil, ukurannya pas. Dengan enggan ia memalingkan wajah. Mengisi rongga dadanya yang sempat tertahan sejenak. Tahu kalau dirinya menatap lebih lama lagi akan muncul kalimat 'Dasar penculik cabul ___' atau '___ penculik cabul.' isi sendiri bagian yang kosong.

"Kau tidak menyuruh Mbok menaruh racun kan?"

Eh? Bocah ini... "Aku bisa meracuni mu sekarang juga kalau kau mau coba."

Lois terkekeh sambil mengambil nasi bakar bagiannya. Memuji makanan tersebut begitu suap pertama mengecap indra perasa. Mulai terlihat berbinar begitu perlahan demi perlahan nasi mulai kandas.

Memberikan rasa syukur tersendiri kepada Dewi Kadita karena ia cukup khawatir sudah hampir seharian wanita itu belum mengisi perut sejak datang kemari.

Pelajaran pertama, kalau mau suasana hati bocah tetap terjaga jangan biarkan perutnya kelaparan.

My Queen from Southern SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang