"Sava kenapa jalannya begitu? Abis jatuh?"
Savara melihat ibunya yang berada dipekarangan rumah sembari menyiram bunga. Wanita paruh baya yang masih cantik itu segera mematikan keran dan menghampiri Savara yang baru saja pulang dengan cara berjalan tertatih.
"Tadi ditabrak orang di jalan, Ma," adu Savara yang kini lantas memperlihatkan wajah sedihnya.
"Duh, duh ... anak Mama kasian sekali. Sini Mama bantu masuk ayuk. Ini tangannya juga?"
Savara kembali mengangguk. Ia memperlihatkan telapak tangannya yang sudah dibalut kain kasa dan hal itu semakin membuat ibunya khawatir. Meliana segera mengecek seluruh tubuh Savara dan benar saja, banyak luka yang Savara dapat dari jatuhnya. Wanita itu geleng-geleng kepala setelahnya.
"Kamu itu kalo naik motor seneng banget kebut-kebutan ya beginilah jadinya. Liat ini tubuhnya udah nggak mulus lagi. Sakit juga pasti nantinya. Ngga panas, kan?"
Savara menggeleng dengan bibir mengerucut. Ia malas sekali jika ibunya sudah mulai berceramah meski wanita paruh baya itu memang begitu perhatian dengan seluruh keluarganya. Apalagi terhadap Savara yang paling disayang Meliana.
"Ya, kan Sava juga nggak tau kalo bakal jatuh, Mama. Tadi juga nggak kenceng-kenceng amat waktu nge-gasnya tapi tiba-tiba ditabrak orang. Jatuh deh."
Meliana menghela napas pelan mendengar sedikit penjelasan Savara. Anaknya itu memang tidak akan mau disalahkan jika memang menjadi korban, dan apapun akan dilakukan agar kebenaran tertuju padanya. Meliana tidak bisa berbuat banyak dan hanya mendengarkan penjelasan anaknya.
"Yasudah lebih baik Mama bantu masuk. Ini seragamnya juga kotor harus dicuci buat besok sekolah lagi."
Savara mengangguk menyetujui. "Roknya ada yang lubang, Mama. Ini harus beli yang baru bukan cuma dicuci. Masa iya aku besok sekolah? Ini masih sakit loh!."
"Iya, iya. Mama juga tau kalo bakal minta yang baru. Kalo tubuhnya nggak panas tetep sekolah. Bentar lagi kan udah mau lulus, Sava. Masa iya luka gini doing mau nggak sekolah sih?"
"Mama ..." rengeknya dengan wajah yang dibuat-buat sedih.
Meliana geleng-geleng kepala. "Yasudah. Cuma besok aja, selanjutnya sekolah lagi."
Savara cengengesan dengan rengeknya yang langsung disetujui ibunya. Perhatian seorang ibu memang tidak pernah mengecewakan anaknya, sekiranya begitulah yang Savara rasakan selama ini. Meliana tidak pernah mengecewakan Savara. Setelahnya, Meliana membantu Savara berjalan masuk ke dalam rumah.
"Kenapa jalannya dibantu Mama, Savara?" Sang Ayah yang baru saja mendudukkan diri di kursi bertanya begitu melihat dua orang masuk rumah dan ternyata adalah istri dan juga anaknya.
"Habis jatuh dia, Pa." Meliana menjawab lebih dulu sedangkan Savara hanya mengangguk pelan menyetujui.
"Ih, bontot jelek nasibnya buruk. Makanya kalo naik motor itu yang diliat jalan bukan malah orang ganteng yang lewat. Jelalatan sih matanya makanya jatuh. Rasain tuh sakit pasti."
Rendra. Lelaki berusia dua puluh lima tahun itu memang suka sekali jahil kepada adiknya. Sedari kecil mereka memang suka sekali beradu mulut meski Rendra sendiri sangat menyayangi Savara selaku adiknya.
"Itu Mas Rendra kalo ngomong suka banget boong. Ma ... Mas tuh jahil banget. Mulutnya perlu ditambal lakban biar kicep," adu Savara kepada Meliana sebab tidak terima dengan ejekan kakaknya.
"Rendra kamu juga matanya jelalatan kok. Itu luka dikaki belum sembuh udah jatuh lagi dari tangga dan nambah luka. Kalian itu memang suka sekali berulah dan bikin Mama pusing."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz Zayn
Духовныеfollow sebelum membaca :) Spiritually-Romance DON'T COPY MY STORY!! Bertemu secara tidak sengaja dengan seorang lelaki rupawan yang menyelamatkan dirinya, ternyata hal itu membuat Savara memiliki suatu perasaan. Namun siapa sangka bahwa ingin menda...