Alasan Sebenarnya

64 8 0
                                    

Mata itu terus terfokus pada salah satu orang yang ada di dalam ruangan. Suara berat yang sedang menjelaskan sesuatu membuat Savara tenang mendengarnya meski ia tidak begitu paham dengan apa yang dijelaskan. Lebih tepatnya sebuah ilmu keagamaan yang belum pernah Savara dengar sebelumnya.

"Sava!"

Savara menoleh begitu namanya dipanggil. Itu salah satu guru magang yang membimbing kelompoknya. "Iya. Kenapa, Pak?"

"Udah nyatetnya? Kelompok kamu udah kumpul di sana," ujar guru lelaki itu menunjuk salah satu bagian yang lumayan jauh dari keberadaan mereka dan terdapat banyak temannya yang sudah berkumpul.

Savara mengangguk pelan. "Bentar lagi selesai, Pak. Nanti saya nyusul. Bapak pergi dulu aja."

Guru lelaki itu mengangguk sembari menampakkan senyum lalu pergi setelahnya. Membiarkan Savara kembali mencatat apa yang ia perlukan dan sesekali menatap ke dalam ruangan yang dipenuhi oleh para perempuan yang menundukkan pandangan dan seluruh bagian tubuh yang tertutup serta hanya memperlihatkan bagian mata dan telapak tangan saja. Savara tersenyum kecil dan melihat kembali ke arah sosok yang ia perhatikan dari tadi.

Zayn. Lelaki itu tidak sengaja menoleh ke arah jendela saat merasa ada yang memperhatikan dirinya. Matanya menangkap gadis yang ia tolong dua minggu yang lalu, tetapi juga terlihat berbeda kali ini. Zayn lantas mengalihkan pandangan saat sosok itu tersenyum ramah padanya, seolah menyapa. Sekali lagi ia kehilangan kontrolnya. Zayn segera beristighfar dan menundukkan pandangannya. berpura-pura tidak mengenal.

Savara menahan senyumnya saat mengetahui Zayn juga menatap ke arahnya lalu mengalihkan pandangan setelah sadar. Mungkin lelaki itu tidak mengenali dirinya karena menggunakan hijab. Berbeda dengan saat mereka bertemu beberapa waktu yang lalu.

Savara segera menutup bukunya dan pergi setelahnya. Ia tidak menduga mereka akan kembali bertemu setelah beberapa lama setelah kejadian hari itu. Zayn juga tampak lebih berwibawa saat menjelaskan kepada para perempuan di dalam sana. Savara jadi membayangkan jika ia akan melanjutkan pendidikannya di pesantren ini dan melihat Zayn terus menerus sebagai gurunya.

Ya ... Savara sedang melakukan observasi ke salah satu pesantren di luar kota bersama dengan teman-teman dan guru magang. Ini untuk mendapatkan pengalaman lebih dalam akan sebuah informasi tentang kualitas pesantren yang begitu dikagumi kalangan guru di sekolahnya meskipun sekolah sendiri memiliki asrama. Hal itu karena pesantren lebih mementingkan kualitas ilmu keagamaan yang matang dibanding asrama sekolahnya. Maka dari itu Savara dan semua temannya juga menggunakan hijab karena tempat observasi mereka yang berada di lingkup pesantren.

Savara sendiri baru menyadari bahwa Zayn mengajar di sini saat ia tak sengaja memotret salah satu kelas yang ada. Selanjutnya ia malah terlalu fokus kepada Zayn hingga melupakan kewajibannya mencatat setiap apa yang ia perhatikan dengan pendapatnya. Savara merasa hari ini beruntung entah mengapa.

"Devi!"

"Jangan lari-larian, Sava. Nanti jatoh sakit," peringat Devi saat Savara berlari cukup kencang ke arah kelompok mereka.

Savara memelankan larinya setelah mendengar himbauan Devi dan kini berjalan cepat ke arah kelompoknya.

"Maaf telat. Sava nggak tahu kalau sudah berkumpul di sini." Savara mengutarakan penyesalannya kepada beberapa teman yang ada di hadapannya.

"Berhubung sudah berkumpul semua kelompok. Jadi, kegiatan observasi cukup sampai di sini. Kalian sudah mencatat apa yang diperlukan bukan? Mulai dari perbedaan antara pesantren dan asrama biasa. Lalu dilanjut dengan yang lainnya, misal dari segi ilmu dan kitab yang digunakn. Saya sebagai guru magang kalian berharap kalian bisa mengerjakan tugas kalian dengan baik sebelum akhirnya lulus."

Ustadz ZaynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang