Gadis berkuncir kuda bergerak kesana kemari mengikuti alunan lagu yang mengiringi tariannya. Peluh telah membasahi tubuhnya yang masih bergerak seiring dengan irama lagu. Meskipun lelah ia tak henti menggerakan tubuh kecil itu, baginya menari adalah jati dirinya. Tak lama lagu berakhir begitu pula dengan tarian dari gadis itu.
"Okey latihan terakhir kita hari ini." Semua tim dancer bertepuk tangan setelah mereka mengakhiri latihan mereka.
"Sepertinya Bu manager harus segera pulang sekarang." Gadis yang sedang membereskan barang-barangnya menoleh kearah sumber suara.
"Kenapa?" Ia bingung dengan ucapan gadis itu, padahal ia tidak berniat untuk buru-buru sekarang.
"Pangeran tampan udah nunggu cukup lama disana," ledek Evine teman sekaligus leader tim dancer mereka.
Iris mata coklat tua itu menatap sekeliling. Senyum manis terlukis jelas di wajahnya saat melihat sosok lelaki tinggi berdiri di dekat pintu masuk. Ia segera berberes dan berpamitan pada anggota yang lain. Tak ayal mendapat godaan dari anggota yang lain, yang membuat rona merah pada pipi tembam itu. Ia semakin melangkah mendekat menuju lelaki tinggi yang ia rindu, ia segera menubruk punggung lelaki dengan tinggi 187cm itu dengan pelukan erat. Sontak lelaki itu terkejut dan membalikan badannya mencoba melepaskan diri namun terhenti karena pelaku dari pelukan itu adalah pujaan hatinya.
"Kangen." Gadis itu mendongakkan wajahnya mempertemukan dua iris mata yang berbeda warna itu.
Ditinggalkan berhari-hari merupakan hal yang sudah sering dirasakan olehnya. Mengingat lelaki ini adalah seorang arsitek muda yang selain mendesain bangunan juga harus sesekali pergi mengamati jalannya pembangunan bangunan yang di rancangnya.
"Cuman 4 hari tapi sudah begini?" Suara serak yang dirindukan oleh gadis itu mengalun lembut ditelinganya.
"4 hari juga tanpa kabar kan?" Celiana cemberut mengingat kekasihnya tidak mengabari dirinya selama diluar kota.
Bukan hal yang tak biasa jika Hilan jarang untuk sekedar bertukar kabar apalagi memberi kabar untuk gadis yang selalu menunggunya."Namanya juga kerja.'' Ia menyentil pelan kening gadis itu.
Tentu saja ia juga merindukan gadis ini saat pergi dinas keluar kota ataupun saat berjauhan dari kekasihnya, tapi ia tidak tau cara memulai obrolan melalui chatting dan apa yang harus ditanyakan pada saat memulai telepon. Ia tidak tau cara memulai semuanya.
"Setidaknya balas pesanku Hilana Redana, atau telpon juga bisa kan?" Gadis itu menghela nafas gusar, menunduk menatap ujung sepatu mereka yang beradu dibawah sana.
Tidak ada jawaban dari lelaki dihadapannya. Hilan memilih diam dan memeluk erat gadis manja ini, sedangkan Celiana tidak heran lagi pada sikap cuek kekasihnya, ia seperti berpacaran dengan batu. Namun ia sangat mencintai sosok lelaki tampan yang dipacarinya 6 tahun belakangan ini. Mungkin waktu yang lama dalam menjalin hubungan bukan?
"Ayo pulang," ucap lelaki itu mengandeng tangan kekasihnya cukup erat.
Mengajaknya berjalan menyusuri parkiran mobil yang cukup luas dan mulai minim penerangan karena memang sudah cukup petang.
"Capek?" Ia mengelus surai hitam yang masih dibasahi keringat milik gadis yang hanya setinggi bahunya.
"Emmm sedikit," jawab Celia yang berjalan mundur di depan Hilan dengan menunjukan tangannya menyatukan jempol beserta telunjuknya mengisyaratkan kata sedikit.
Hilan terkekeh kecil melihat kelucuan kekasihnya. Bahkan tingkah Celia masih seperti anak sekolah bukan wanita dewasa yang telah berumur 25 tahun.
"Kenapa ketawa? Aku dekil ya?" Gadis itu menghentikan jalan dan mendongak lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
trapUlove
Romance[on going] "Lepas, gak ada peluk-peluk kali ini" "Maaf, tadi aku lupa kamu nggak suka vanilla," lanjut Celia sedikit mendongakkan wajahnya merasa bersalah. "Aku suka, tapi dari bibir kamu." Celia mengakui dalam hal menggoda Hilan juaranya. "Apa kam...