Rasa

12.6K 318 2
                                    

Fin terhenyak dari tidurnya, karena suara pintu yang terbuka secara kasar.
Dilihat nya Ayahnya yang menggunakan pakaian santainya,berjalan mendekat sambil menghisap rokok yang ada di bibirnya.

Fin benar-benar tidak mengerti, Yang ia tahu ayahnya sudah berhenti merokok, sejak dirinya masih di bangku sekolah dasar.
Tanpa Fin sadari, Adi sudah berjongkok di depannya dan menatapnya tajam.
Bau rokok segera membuat Fin terbatuk dan sebisa mungkin menahan nafasnya.

"Berapa banyak uang yang kamu pake buat foya-foya hah?"

Pertanyaan itu terasa seperti pedang yang menghujam jantung Fin.
Ia memilih menunduk dan tidak menjawab pertanyaan itu.
Selama ini, Fin benar-benar lupa diri dan selalu berfoya foya dengan uang hasil perusahaan ayahnya yang sudah berkembang pesat itu.
Hal itu terjadi, karena Fin selama ini selalu dididik untuk menjadi anak yang sederhana.
Adi tidak ingin anaknya itu menjadi seseorang yang tinggi hati karena memiliki barang-barang yang mewah.
Karena itu, setelah Adi dipenjara dan tidak pernah memantaunya lagi, Fin mulai membeli barang-barang mewah yang selalu dimimpikannya.
Lagipula jumlah uang di ATM milik Adi seakan tidak pernah berkurang, sebanyak apapun Fin menghabiskannya.

"JAWAB..!!!"

Teriakan Adi membuat Fin bergetar ketakutan.
Fin memutuskan untuk menggeleng pelan karena rasa takutnya.
Ia benar-benar tidak ingat, berapa banyak uang yang ia gunakan hanya untuk menyenangkan hatinya.

Adi merasa geram dengan tingkah laku putrinya itu.
Menurut laporan Otto, sang wakil perusahaannya, sudah hilang dana prive sebanyak hampir 900 juta dalam 2 tahun terakhir ini.
Dan dana sebanyak itu hanya dihabiskan oleh satu orang saja.

Adi menghisap rokoknya dalam-dalam, dan segera melahap bibir Fin yang kecil itu, dan menghembuskan asap rokok itu ke dalam mulut Fin.
Fin yang sangat membenci asap rokok itu pun segera terbatuk-batuk, mencoba mengeluarkan asap rokok yang masih tersisa di paru-parunya.

Adi tersenyum puas melihat wajah Fin yang menderita itu.
Sudah sejak lama ia menantikan wajah itu, wajah yang selama ini hanya bisa ia bayangkan di dalam pikirannya.

"Kamu tahu berapa banyak uang perusahaan aku yang udah kamu habiskan..?"

Pertanyaan itu benar-benar penuh dengan aura pembunuh yang menjalar dan merambati setiap indra peraba milik Fin.
Lagi-lagi Fin menggeleng lemah.
Di dalam hatinya, ia sudah siap untuk disakiti lebih jauh.
Adi segera menjambak rambut Fin dengan kasar agar wajah mereka mendekat.

"Kamu sudah menghabiskan 900 JUTA JAlANG...!!!!
Dan kamu masih tidak ingat apa saja yang sudah kamu pakai dari uang itu hah...!?"

Fin menutup matanya saat Adi berteriak tepat di depan batang hidungnya.
Isak tangis kembali lolos dari bibir mungil Fin.
Adi benar-benar tidak tahan mendengar suara isak tangis Fin.
Ada rasa tidak nyaman tersendiri di dalam hatinya yang tidak ingin mendengar suara isak tangis putri satu-satunya itu.
Ia melepaskan jari-jarinya dari rambut Fin, dan beralih mengangkat dagu Fin yang sedari tadi menunduk dalam rasa takutnya.

"Buat apa kamu nangis hah!?"

Mau tidak mau, suka tidak suka, mata mereka pun akhirnya bertemu.
Adi melihat mata yang seingatnya selalu bulat berbinar itu, kali ini bengkak dan merah.
Adi ingat saat Fin berumur 15 tahun, anak itu pernah menghina mentah-mentah calon kekasihnya.
Alasan Fin adalah karena calon kekasihnya yang berbeda agama dengan ayahnya dan mengajak ayahnya untuk berpindah ke agamanya.
Dan hal itulah yang membuat Adi marah besar, dan memarahi Fin habis-habisan.
Saat dimarahi, Fin tampak hanya meneteskan beberapa tetes air mata saja.
Namun esok harinya, Adi menemukan Fin dalam keadaan matanya yang bengkak dan merah, serta tubuhnya yang langsung demam tinggi dan lemas tak berdaya.
Adi selalu merasa sakit kali mengingat hal itu.

Ditatapnya lebih dalam mata anak kesayangannya itu.
Fin masih terdiam.
Mata Fin pun juga menatap iris mata ayahnya itu, dan mencari sedikit saja belas kasihan disana.
Adi merasa jengah dengan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya itu.
Ia pun segera melepaskan dagu Fin, dan segera pergi meninggalkannya.

Pukul 01.38 dini hari

Fin terbangun.

Gelap

"Kenapa gelap sekali..?"

Fin bertanya lemah kepada dirinya sendiri.
Rasa takut segera menyergapnya.
Di dalam hidupnya, hal yang paling ditakuti oleh Fin adalah kegelapan, dan kesendirian.
Fin membenci kenyataan bahwa dirinya adalah seorang anak yang pengecut.
Tetapi rasa takut ini terasa menyiksa dadanya yang segera menjadi sesak.

"Tooloooonnggg..!!!!"

Fin tidak perduli lagi dengan apapun.
Ia hanya menginginkan secercah sinar ataupun seseorang yang mampu menemaninya.

"Aku moohhooonnn...!!! Tolong akuuu...!!!"

Air matanya sudah membasahi wajahnya yang lusuh itu.
Jeritannya semakin menjadi-jadi karena rasa takutnya.

"PAPAAAA...!!!
TOLOONGG AKUUUU...!!!"

Suara pintu yang terbuka secara tiba-tiba membuat Fin menjerit ketakutan.
Lampu di kamar mandi itupun menyala, menampakkan sosok tinggi menjulang itu.

"Pa....paa...."

Fin kembali menangis.
Antara rasa takut dan perasaan lega, ia tak tahu.
Adi pun segera menghampiri Fin yang tengah berlutut di ujung kamar mandi itu.

"Kamu ini ngapain tengah malam jerit-jerit hah!?"

Rasa sakit dikepalanya kembali lagi saat Adi kembali menjambak rambut Fin.

"A..Akuu mohon paaa...S..Saakiitt..."

Air mata yang berlinang itu membuat Adi secara tidak sadar mengendurkan tarikannya.
Ia menatap Fin antara marah dan jengkel karena Fin mengganggu tidur malamnya.
Fin kembali terdiam karena aura kemarahan yang terpancar dari tubuh ayahnya itu.

"APA KAMU TULI!?
ATAU KAMU MAU KUPUKUL LAGI!?"

Adi kembali berteriak didepan wajah Fin yang hanya beberapa milimeter lagi jaraknya.

"Ak...Akuu...Aku takkutt paa.."

Fin tidak perduli lagi dengan harga dirinya di depan ayahnya ini.
Ia tahu pasti ayahnya akan menetawainya keras-keras hanya karena masalah kecil ini.

"Kamu takut..!?
KAMU PIKIR AKU PEDULI DENGAN HAL ITU JALANG..!?"

Ternyata dugaan Fin salah.
Adi segera menghempaskan kepala Fin, hingga bagian belakang kepalanya membentur dinding keramik.
Fin merasakan rasa sakit yang amat sangat di kepala bagian belakangnya sehingga membuatnya lemas seketika.
Adi berusaha tidak peduli, dan segera keluar dan kembali mematikan lampu kamar mandi itu.

Adi terdiam di depan pintu kamar mandi itu, dan mendengar samar-samar suara isak tangis dan rintihan anaknya yang kesakitan itu.

Ia menahan dirinya untuk merasa kasihan pada anak itu.

Menahan dirinya untuk menolong anak itu.

Walaupun sebenarnya di dalam hatinya ia sangat takut.

Ia takut akan menemukan Fin dalam keadaan yang lebih mengenaskan lagi.

My Lovely DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang