Selamat membaca, yaa 💙 Karena revisi part ini lumayan panjaaangggg.
Malam ini di tengah suasana heboh atas pertemuanku dengan Arsenio di bus kota kami semua___maksudnya dua keluarga Rahendra dan Saputra tengah mengadakan kumpul bersama di ruang televisi. Tentu saja aku harus ada di sana. Bunda Gia dan ibu sudah sibuk membahas banyak hal mengenai wedding party, venue acara bahkan sampai gaun pengantin.
Anehnya aku si calon pengantin yang akan menjalani kehidupan setelah pesta itu malah diam saja, menyimak. Seolah aku tidak terlibat di dalamnya. Sudah di bilang sejak awal kalau aku ini pendiam yang sungkan jika membuka obrolan.
Aku mengela napas panjang kemudian melirik ke arah Arsenio yang saat ini tengah bercengkerama akrab bersama Ayah, Om Putra dan Mas Nashar. Aku saat ini duduk di baris paling belakang bersama Devano, adik Arseno yang tampan itu tengah bermain game di ponselnya.
Ah, satu orang lagi. Mbak Hulya katanya ada pekerjaan yang nggak bisa di tinggal, jadi dia milih tidur di apartemen pribadi miliknya.
"Mbak," panggil Devano padaku. Dia mendekatkan bibirnya pada telingaku kemudian berkata pelan, "Bosen banget kan? Acara kayak gini nggak cocok buat generasi milenial kayak kita. Mereka nggak ngertiin perasaan kita, dari tadi bicara terus!" ucapnya.
Aku terkikik geli. Membenarkan ucapannya. FYI, Devano yang awalnya ku kira bocah SD ini ternyata sudah mau kelas dua SMP. Tingginya juga sebenarnya lebih daripada aku, cuma mataku saja yang tidak awas memperhatikan penampilannya.
"Kamu juga bosen ternyata, aku pikir dari tadi asyik main gim," balasku berbisik kecil.
Dia terkekeh pelan. "Makanya aku duduk di samping mbak Calla. Aku tau kalau manusia modern kayak kita nggak nyambung sama topik obrolan mereka!" ucapnya lagi.
Aku tak bisa menyembunyikan senyum lebarku. Devano bisa saja membuat suasana hatiku sedikit membaik. Sejak bertemu dengan Arsenio yang ternyata cowok asing di bus itu aku jadi lebih banyak melamun. Kenapa takdir bisa selucu ini?
"Mbak? Mau keluar aja nggak? Kita ke teras rumah. Main lego!" katanya padaku.
Aku tidak langsung mengangguk. Kedua mataku malah melebar mendengar ucapannya seolah menyerap kantuk yang sejak tadi menderaku. Devano benar-benar bocah yang bisa diandalkan.
Aku mengangguk pelan sebagai jawaban membuat senyumnya kian lebar. Ia langsung memberiku aba-aba untuk mengikutinya keluar dari ruang televisi. Aku sebagai pengikut hanya mengiyakan saja. Aku tidak jago dalam menyelinap seperti ini.
Sesampainya di teras rumah tawa kami pecah, aku menepuk bahunya seraya mengucapkan terimakasih. Devano memang calon adik ipar yang baik. Sepertinya aku cocok dengannya.
"Mbak bisa main lego?" tanyanya padaku. Aku menggeleng sebagai jawaban. Jujur saja mengikutinya keluar dari dalam rumah hanyalah tujuan awalku. Aku juga sudah tidak betah di sana, pembahasan para tetua itu benar-benar membosankan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent, Please! (Re-up)
RandomAda nggak sih manusia bumi yang hidupnya monoton banget nggak ada cabang-cabangnya kayak aku? Setiap hari cuma jalani hidup seadanya. Nggak ada perlawanan, udah kayak hidup nggak mau tapi mati aja segan. Selalu nurutin perintah orang tua, disuruh in...