6. Jatuh sakit

19.2K 1.3K 18
                                    

Selamat membaca, yaa. Jangan lupa bintang kiri bawah. Jangan tanya kenapa aku up cerita ini terus, aku lagi membangun semangat untuk kembali menulis. Wkwkwk, supaya cerita lain juga jalan 🙆‍♀

Tadi pagi aku demam ringan dan sudah minum obat atas perintah Mas Nashar yang tentu saja setelah Arsenio kewalahan membujukku. Aku ngotot tidak mau minum obat karena aku merasa hanya perlu istirahat sebentar. Hanya pusing sebentar yang kemungkinan akan segera sembuh setelah aku kembali tidur. Tetapi nyatanya tidak, aku malah semakin tidak bisa bangun dari ranjang saat pukul sebelas siang. Kepalaku semakin berdenyut nyeri dan sialnya di rumah sedang tidak ada orang. Keluarga Arsenio sudah pulang setelah beberapa malam menginap di rumah, Ayah dan ibu katanya ada undangan pernikahan dan tentu saja akan pergi bersama keluarga Arsenio. Mbak Hulya sudah satu hari tidak pulang ke rumah karena sibuk bekerja dan Mas Nashar katanya akan menjenguk Sabita, anak perempuannya yang berusia tiga tahun.

Ah, aku belum bercerita ya kalau Mas Nashar ini pernah menikah. Iya pernah, setelah beberapa bulan kelahiran Sabita ia bercerai dengan istrinya, yang tidak pernah aku tau alasannya apa. Karena setiap kali aku menyinggung pernikahannya, dia selalu mengalihkan topik pembicaraan seolah aku dilarang untuk membahas hal itu. Aku menurut dan tidak pernah bertanya lagi. Mungkin Mas Nashar trauma dengan pernikahannya dan itu juga bisa menjadi alasannya terus memintaku untuk memikirkan kembali perjodohanku dengan Arsenio.

Oke, kembali lagi pada topik. Tadi pagi Ibu sudah terlihat sangat sibuk mempersiapkan diri menghadiri undangan pernikahan yang entah dari siapa, katanya dari teman kantornya. Aku juga sempat mendengar kalau Bunda Gia dan Om Putra juga ikut. Plusnya lagi mungkin Arsenio diajak.

Tadinya aku juga dipaksa ikut oleh Ibu tetapi aku menolak dengan alasan kurang enak badan. Ibu memaklumi itu dan memintaku istirahat di rumah. Sekarang disinilah aku berada di dalam kamar ditemani boneka keropi sebagai saksi bahwa aku hanya bisa membuka dan memejamkan mata. Aku tidak punya tenaga cukup untuk turun dari ranjang dan mencari obat pemberian Arsenio yang entah di simpan di mana. Tadi sebelum pergi dari rumah dia berpesan agar aku minum obatnya tiga kali sehari yang berarti siang ini aku harus repot mengurusi diriku lagi.

Aku tidak bisa menelepon Aryana untuk meminta pertolongan seperti yang sering kulakukan saat aku jatuh sakit di Kostan. Tadi sebelum pamit padaku dia sempat berkata bahwa akan mengunjungi kakeknya yang ada di desa. Tentu saja sebelum kembali ke Jakarta dia akan mengunjungiku lagi.

Aku mengusap mataku yang terasa berat dan memanas. Kurapatkan selimut agar membuat tubuhku sedikit hangat. Demam itu menyiksa apalagi kalau harus dirasakan seorang diri dan tidak ada yang merawat.

Drrttttt

Drrttttt

Ponselku bergetar panjang. Aku melirik tak minat pada layar menyala yang tengah menampilkan sebuah panggilan masuk.

Aditya Arsenio

Aku tidak berniat mengangkatnya jadi kubiarkan saja layarku menyala sampai kembali mati. Tetapi sepertinya Arsenio tidak menyerah dan kembali meneleponku lagi.

Sampai lima kali panggilan dan akhirnya ku angkat di panggil ke enam.

Aku memiringkan tubuh sembari menempelkan ponselku di telinga kiri yang terjepit diantara bantal.

"Halo? Calla?"

Suara Arsenio terdengar berat.

"Hm, Kenapa Mas?" tanyaku pelan dengan suara super sengak. Ya, kayak orang sakit pada umumnya. Kalau bicara aja udah kelihatan kalau aku ini lagi nggak enak badan.

"Kamu di mana sekarang?" tanyanya padaku. Aku bisa mendengar nada bicaranya terdengar panik. Eh, atau khawatir ya?

Aku menarik napas lemah kembali memejamkan mata. "Di kamar."

Silent, Please! (Re-up)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang