2. Kembali ke 'rumah'

26.4K 1.6K 17
                                    

Selamat membaca! Supaya semangat nulis jangan lupa dukunganmu, yaa 💙

"Sudah sampai, Mbak!"

Aku tersentak kaget. Tukang ojek di depanku sedikit menoleh ke belakang seolah memastikan bahwa alamat yang kuberikan tidak salah.

Kutatap rumah bertingkat dua di depanku. Masih sebesar dan semewah dulu. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Masih ada taman kecil buatanku yang tampak sangat rapi. Masih seperti enam bulan lalu.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Turun dari motor dan mengeluarkan sejumlah uang. Tukang ojek itu berpamit pergi setelah mengucapkan terimakasih.

Aku masih diam. Tidak berniat untuk segera masuk ke dalam sana. Hatiku tiba-tiba merasa tidak enak, seolah tau akan ada hal besar yang mungkin menungguku di dalam sana.

Ting.

Bunyi pesan masuk dari notifikasi whatsapp. Aku hanya melirik layar ponselku, membaca sekilas bilah pesan yang tertera di walpaper yang bergambar boneka beruang.

Dokter Airini
Calla, saya menunggu kamu kemarin kenapa tidak datang? Apa semua baik-baik saja?

Aku membuang napas, memilih untuk memasukkan ponselku ke dalam saku celana. Pesan dari dokter Airini membuatku ragu untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.

Ting

Dokter Airini
Apa saya perlu bertemu orang tuamu, Calla?

Dokter Airini
Jangan terlalu memikirkan banyak hal. Tekanan dari dalam hatimu akan membuatmu terluka.

Aku meremas ponselku dengan tangan bergetar. Aku tau ini salah, aku juga tau ini sangat-sangat memalukan. Gimana kalau ibu tau anak bungsunya punya penyakit mental? Tinnitus? Mertua mana yang mau menerima anak perempuan berpenyakitan seperti aku. Laki-laki mana yang rela mengurus perempuan lemah seperti aku seumur hidupnya?

Aku berdecak sebal. Pesan dari dokter Airini benar-benar mengacaukan mood-ku yang sudah buruk. Aku semakin sesak melangkahkan kaki ke halaman rumah ini.

Aku mendongakkan kepala, menghalau agar air mataku tidak menetes. Aku tidak boleh cengeng, ibu melarangku melakukan itu. Aku harus tahan banting agar ibu tidak malu saat memamerkan anak-anaknya pada teman sosialitanya.

"Dek?" suara lembut Mbak Hulya terdengar dari arah belakang di susul oleh tepukan pelan di pundakku.

Aku mengerjap cepat sebelum menoleh, sebisa mungkin memasang senyum lebar.

"Udah sampai? Alhamdulillah, kenapa nggak langsung masuk? Udah di tunggu sama ibu. Keluarga calon mertua kamu juga sudah di dalam!" ucap Mbak Hulya. Senyumnya yang cantik itu membuat suasana hatiku membaik.

Mbak Hulya sangat baik padaku sejak aku masih kecil. Meskipun Ibu lebih memanjakan mbak Hulya karena selalu menuruti ucapannya tetapi Mbak Hulya tidak pernah sekali pun kasar padaku. Mbak Hulya memang sesempurna itu.

Dia adalah anak kebanggaan ibu yang kedua.

"Calla pakai baju gini pantas nggak ya mbak? Nanti kalau ibu malu gimana?" ucapku memandang penampilanku sekarang.

Mbak Hulya terkekeh pelan. Ia memelukku sangat lama sembari mendaratkan kecupan di atas kepalaku. Air mataku hampir berontak keluar lagi. Mungkin alasanku untuk selalu menuruti keinginan ibu adalah mbak Hulya. Aku ingin sekali menjadi sepertinya, hidup dalam tekanan ibu tetapi masih bisa menebar senyum ramah. Menyembunyikan dirinya yang juga sangat terluka.

Aku tau kami sama tetapi kami memiliki luka yang berbeda. Keluarga Rahendra yang terkenal harmonis dan penuh kasih memang benar tetapi tidak ada yang tau sebanyak apa luka yang anak-anaknya dapatkan atas tuntutan orang tua mereka.

Silent, Please! (Re-up)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang