5. Sesi curhat bersama bestie

19.9K 1.4K 5
                                    

Selamat membaca, yaa. Jangan lupa bintang kiri bawah.

"Call, bangun!"

"Calla, woy bangun!"

"Cewek satu ini bener-bener! Calon istri orang, bangun!"

Aku berdecak kesal. Suara menyebalkan milik Aryana tiba-tiba saja berdengung di telingaku, refleks aku langsung kembali menarik selimut dan menyamankan posisi tidur.

Aku pasti hanya bermimpi karena tidak mungkin ada Aryana sedangkan dia masih di Jakarta. Dan aku ini ada di dalam kamar di rumah keluarga bapak Rahendra. Tidak mungkin Aryana di sini.

"Callaaaa, bangun nggak lo! Udah buat gue khawatir setengah mati tapi lo malah enak-enak tidur!" seruan kencang itu membuatku tersentak kaget. Perlahan, aku menurunkan selimut dan membuka mata.

Wajah pertama yang kulihat adalah wajah kesal Aryana. Aku langsung mengernyit bingung, Aryana kan masih di Jakarta, dia juga masih ada kegiatan dengan teman organisasinya itu lalu untuk apa dia di sini?

"Susah bener dibangunin aja sih, Cal!" katanya kesal. Wajahnya berubah cemberut.

Aku langsung duduk dan bersandar di kepala ranjang. Menatapnya tidak mengerti. Dipaksa tiba-tiba duduk kepalaku tiba-tiba pusing, pandanganku hampir memburam. Tetapi membaik setelah ku pusatkan seluruh perhatian pada Aryana.

"Lo ngapain di sini Ry? Sejak kapan lo punya kunci pintu kamar gue?" tanyaku menyipitkan mata. Aryana ini orangnya super licik, lebih licik dari kancil. Bedanya dia versi perempuan.

"Gue telponin dari kemarin nggak diangkat, gue chat lo juga cuma baca doang. Gimana gue nggak khawatir, dokter Airini sampai pesan sama gue supaya--"

"Bentar Ry," potongku cepat. "Gue mandi bentar, tungguin!"

Aku bangun dari ranjang kemudian masuk ke kamar mandi, membiarkan Aryana duduk anteng diatas sofa. Aku perlu mandi dan menyegarkan kembali otakku yang sudah mulai riweh. Kejadian tadi malam kembali berputar di kepalaku. Dan aku benar-benar tak bisa tidur semalaman karena memikirkan banyak hal. Juga soal lamaran di jam dua dini hari tadiii.

Sialan, siapa yang mengajukan lamaran di jam seperti itu.

Mungkin nanti aku akan meminta maaf padanya dan memberi tahu mengenai diriku. Kalau nanti aku tidak berubah pikiran dan malah lari lagi dari dia.

"Lama banget timbang mandi doang, udah kayak Ratu Elizabet aja!" mulut julid Aryana yang menyambutku saat aku keluar dari kamar mandi. Aku hanya menoleh sekilas dan berpakaian.

"Lo nggak di tanya apa-apa pas sampai sini? Orang rumah gue gimana?" tanyaku padanya sambil membuka lemari dan mencari sweter hangat. Tubuhku sepertinya agak kurang sehat, terbukti dengan jalanku yang agak limbung.

Aku melirik jam diatas nakas, pukul tujuh lebih dua puluh satu menit dan aku kembali terlambat bangun padahal niatnya pengin bertemu keluarga Arsenio dan menunjukkan sikap manis pada mereka. Ah, sudahlah rencana jahat memang tidak bisa berjalan mudah. Untungnya aku tadi sudah bangun subuh dan sholat jadi aku merasa tenang saja bangun sesiang ini.

"Ibu cuma tanya doang tentang kuliah gue, kabar gue sama kabar orang rumah. Terus Mas Nashar yang kasih kunci kamar lo dan minta gue langsung naik aja. Hehe," Jawaban Aryana membuatku mengangguk pelan. "Bye the way, Call. Calon lo ganteng banget," lanjutnya dengan tatapan menggoda. Aku langsung melotot dan melemparinya setumpuk tisu.

Tawa Aryana pecah. Ia guling-guling diatas kasur masih menertawakanku.

"Siapa yang nyangka kalau Calla si tukang rebahan dapat jodoh pengusaha kaya yang tampangnya ganteng parah." Ucap Aryana. Dia sudah kembali duduk dan masih menggodaku.

Silent, Please! (Re-up)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang