Cita-cita Ralf

42 13 46
                                    

Tepuk tangan memenuhi ruangan di TK anak bangsa. Zara tak pernah berhenti memamerkan senyuman, mendengar cita-cita dari anak-anak didiknya.

Untuk sebelas orang, dia benar-benar bahagia dan tidak ada beban pikiran sedikitpun, tetapi setelah Ralf maju dan menyebutkan cita-citanya, ia mulai gelagapan, bagaimana caranya menjabarkan apa itu mafia seandainya ada yang bertanya.

Dari banyaknya propesi, dari banyaknya cita-cita di dunia ini, kenapa anak itu ingin menjadikan dirinya sebagai mafia saat besar nanti?

Satu tangan teracung di bangku barisan nomer dua. Seorang anak kecil yang terkenal banyak tanya dan ingin tahu segala hal di sekitarnya itu bertanya. "Miss, mafia itu apa? Sekarang aku berniat mau jadi mafia juga."

Serentak, sepuluh murid di sekitar Arsyad—nama anak didik Zara yang bertanya itu menatap Zara menuntut jawaban, begitu juga dengan sang pemilik cita-cita, mengacungkan jari telunjuk, meminta dirinya saja yang menjawab.

"Tunggu sebentar, Miss mau tanya sama Ralf dulu."

"Miss, bentar lagi pulang sekolah, kalau Ralf harus jawab pertanyaan Miss, jadi kapan hadiahnya bakal dibagi?" Haura, anak berkuncir dua itu tampak tidak sabar, ingin tahu siapa pemilik buku gambar dan pensil warna yang ada di meja Zara.

"Sabar Haura."

Haura di tempatnya mengercutkan bibir, ia tidak suka Zara mengulur-ngulur waktu begini.

"Ralf, kenapa kamu mau jadi Mafia? Emang kamu tahu pekerjaan mereka apa?"

"Aku liat di netflix Miss, yang jadi mafia itu Om-Om, matanya sipit tapi kalau senyum manis, kakakku suka banget sama dia, sampai bilang ke aku, kalau itu pacarnya. Pacar kakakku itu keren banget, dia cerdas, dia juga bisa, bikin adik musuhnya mihak dia."

Arsyad menepuk tangan yang pertama kali, membuat yang lain ikut-ikutan.

"Ralf, kalau aku nggak diterima jadi polisi, aku pengen jadi mafia juga kayak kamu," kata Arsyad, lantas mengacungkan dua jempolnya untuk Ralf.

Di kursinya, Zara mengusap wajahnya sebanyak dua kali, padahal ia sangat anti sekali mengusap wajah tanpa menggunakan tissue. Mungkin ini karena dirinya frustasi.

"Ralf, kamu boleh mau jadi apa aja setelah dewasa nanti, kamu berhak nentuin tujuan hidup kamu, tapi saran Miss, kamu harus punya cita-cita lain, kayak jadi pimpinan sekolah, dokter atau guru seperti Miss. Apa aja."

"Jadi Miss suruh aku ganti cita-cita?" Mimik Ralf berubah muram setelah itu.

"Bukan nyuruh ganti, tapi ditambah lagi, bisa?"

Ralf mengangguk. Mimiknya berubah bahagia saat Zara memberinya permen, membuat yang lainnya protes karena tidak kebagian.

"Kalian dapet permen, tapi buku gambar sama pensilnya nggak jadi Miss kasih."

Semuanya lantas berseru jangan, membuat Zara tergelak, melihat suasana kelas seperti pasar.

"Karena sebentar lagi mau pulang, jadi Miss langsung kasih ke meja kalian, kalian cukup duduk aja ya."

Manal membekap mulutnya dengan tangan ketika pensil warna itu diberikan Zara ke mejanya, kemudian Arsyad dan yang terakhir crayon, ia berikan pada Haura.

Sebenarnya, crayon itu tidak masuk daftar yang ingin Zara beli, tapi Lingga beralasan, jika ia tidak sengaja membeli dan meminta Zara memberikannya pada salah satu murid yang lain.

"Terimakasih Miss Zara, aku udah lama mau, tapi Mama nggak mau beliin," Haura memeluk crayonnya. Anak kecil itu benar-benar senang.

🌹

BingungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang