Butuh waktu tiga hari menunggu hari sabtu yang tiap detik dan menitnya serasa berjalan lambat menurut Lingga.
Kini lelaki itu sudah ada di depan rumah Zara, yang pertama kali melihatnya adalah sosok perempuan yang sangat asyik dan mungkin juga bisa dikatakan satu frekuensi dengannya. Siapa lagi kalau bukan Marinka.
"Siang Tante," kata Lingga yang sekarang membantu Marinka— membuka pagar.
Marinka dari atas motornya, menatap Lingga lama sampai napasnya sudah lebih dua belas kali menghirup oksigen.
"Maaf Mas, saya nggak pesen taksi ."
"Hah?" Kaget Lingga. Bagaimana bisa Marinka melihatnya seperti itu?
"Tante, saya Lingga," beritahu Lingga sambil menepuk dadanya.
Marinka mengulum senyum. Lantas mematikan mesin kendaraannya, mengamati Lingga yang menunggu reaksinya.
"Saya temennya Zara, Tante, waktu itu Tante yang nganterin saya sampai depan mobil pas taksi saya dateng, inget?"
"Inget, tadi saya pura-pura lupa aja, mau tahu reaksi kamu. Kamu mau jalan sama Zahra?"
Lingga mengangguk.
"Berdua aja?"
"Oh enggak, sama temen juga Tante, Tante mau ikut? Biar rame."
"Lain kali aja, Tante udah punya urusan. Kamu masuk aja, tadi Zahra nunggu—" Belum sempat Marinka menyelesaikan kata, dari arah belakang, Zara muncul dengan sidikit berteriak memanggilnya yang belum juga pergi.
Tanpa berbalik dan mununggu Zara sampai di dekatnya, Marinka menyalakan mesin motor dan pamit pada Lingga.
"Udah lama?" Zara sudah sampai di depan Lingga, dengan sepasang mata masih menatap punggung Marinka yang mulai menjauh.
"Nggak kok, mau jalan sekarang?"
Zara mengangguk. Ia mengikuti Lingga dari belakang dan mengucap terimakasih saat lelaki itu membukakan pintu belakang untuknya.
"Perhatian amet Mas. Perasaan kalau saya mau naik, Mas Lingga diem aja," celoteh Yoga dengan mata menatap ke atas, matanya kemudian mengatup karena pancaran sinar matahari masuk, menusuk matanya.
"Mau saya bukain juga abis sampai?" Dengan tatapan datarnya, Lingga bertanya.
Yoga menggerakkan kepala, memasang senyum canggung. "Saya buka sendiri, cowok harus mandiri."
Sementara dari kursi belakang, Zara hanya bisa mengulum senyum padahal ia ingin sekali tertawa. Tetapi ia harus menjaga perasaan Yoga.
Ternyata Lingga bisa menjadi sosok menyeramkan juga dengan wajah begitu. Tak ada kesan pemaksa dan sok kenal sok dekat lagi dalam dirinya keluar.
🌹
"Saya mau kamu jadi guru di sini, guru ngegambar, nggak usah setiap hari datang, cukup satu hari dalam seminggu, mau?"
"Kenapa nggak kamu aja yang jadi guru? Terus, kamu bisa aja cari yang paling jago gambar dari saya, saya nggak ahli-ahli banget."
Lingga tersenyum. "Yang jelas, gambaranmu lebih cantik dari punya saya, saya nggak ada bakat ke situ, gambar mobil aja bentuknya aneh. Kalau masalah paling jago, saya udah pernah coba, tapi beberapa orang yang jago gambar pada ngundurin diri, termasuk temen saya, mungkin susah menyeimbangkan suasana."
Zara diam setelah mendapat jawaban cukup panjang dari Lingga. Ia memerhatikan ke luar jendela. Yang dikatakan Lingga benar, kawasan padat penduduk dan kumuh itu membuat orang-orang yang pernah Lingga ajak bekerjasama menjadi kurang nyaman mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bingung
General FictionBaru putus dengan pacar lima tahunnya. Tiba-tiba ada seseorang yang tidak Zara kenal mengajaknya berpacaran. Kesialannya pun mulai dari sana. Hidupnya yang tenang tiba-tiba berubah seperti artis papan atas saat orang itu terus-terusan mengganggu.