🏫3🏫

163 17 2
                                    

3. Secretly attentive

.
.
.
🏫🏫
.
.
.

Hamparan langit malam terlihat bercahaya saat berjuta-juta bintang saling memancarkan kilauan. Udara berhembus pelan memberikan kesejukan bagi sebagian manusia yang berlalu lalang.

Walaupun masih ada beberapa manusia yang berlalu lalang entah itu untuk melepas penat ataupun baru pulang kerja, nyatanya berbagai toko penjual makanan telah di tutup menyisakan tulisan 'close' di balik pintu kaca yang dilapisi tirai tebal dan panjang.

"Lama gak nungguinnya?" Dira bertanya ketika sudah berdiri di hadapan Rayyan. Lelaki yang saat ini mengenakan jaket hitam itu sedang duduk menyendiri di bawah pohon rindang.

Rayyan menggeleng singkat dengan rambutnya yang bertebaran. Posisi duduknya yang menghadap langsung ke arah datangnya angin membuat ia terkena banyak hembusan angin malam yang dingin. Untungnya jaket yang ia kenakan cukup tebal jadi tubuhnya tidak merasakan kedinginan.

"Ayok pulang. Nanti bisnya keburu tutup." Dira mengajak, memilih jalan lebih dulu dan disusul Rayyan dengan berdiri tepat di samping Dira.

"Kenapa gak pake jaket?" Rayyan bertanya, setelah menyadari kalau temannya itu hanya mengenakan kaos oblong lengan pendek di saat suhu angin malam sedang turun drastis.

"Gue lupa bawa."

"Masih muda kok pelupa. Gimana nanti pas kamu tua, pasti lupa ingatan." komennya yang mendapat lirikan sinis dari Dira.

"Sok tau lo!" Dira mencetus galak. Tapi sedetik kemudian mimik wajahnya berubah saat suara yang berasal dari perutnya yang kempes berbunyi.

"Yan, gue laper." Dira mengadu lesuh. Perutnya yang bunyi kembali ia peluk erat agar suaranya itu tidak terdengar lagi oleh Rayyan.

"Yaudah sana makan."

"Lo yang bayarin makan gue ya."

Rayyan berdecak, menoyor gemas kening Dira hingga kepala perempuan itu sedikit terdorong ke belakang. "Kasian ya kamu, udah miskin tukang ngemis lagi." Katanya dengan geleng-geleng seolah meratapi nasib Dira yang malang.

Dira yang kesal membalas perlakuan Rayyan dengan meninju perut lelaki itu. "Gue gak miskin cuma kekurangan duit aja."

"Lo kan kaya, nah sebagai manusia yang baik hati dan gemar menolong, gue bakal minta lo bayarin makan gue. Kalau lo bayarin makan gue, lo juga bakal untung. Gue kenyang dapet makanan, lo seneng dapat pahala. Gimana? Simbiosis mutualisme kan." Cerocos Dira dengan senyum kemenangan.

Rayyan mendengus. Apanya yang simbiosis mutualisme?

"Terserah kamu saja lah."

"Jadi gimana? Mau ya?" Kata Dira lagi dengan senyum-senyum agar Rayyan luluh. Walaupun Dira sendiri tau Rayyan tetap akan menuruti permintaannya.

Selama berteman dengan Rayyan, Dira belum pernah sekalipun merasakan yang namanya penolakan. Entah karena Rayyan yang tidak tega atau karena hal lain yang membuat Rayyan selalu mengabulkan permintaannya.

"Mau makan dimana?"

Dira menarik senyumnya lebih lebar. "Di situ," ia menunjuk pada tiang lampu jalanan yang dimana dibawahnya terdapat seorang penjual dengan gerobaknya. "Gue pengen makan bakso."

"Kalau laper itu makan nasi bukan makan bakso. Cari makanan yang lain aja."

Ini sudah malam dan Rayyan tau kalau perempuan itu belum makan nasi setelah pulang sekolah. Ia hanya tidak ingin Dira kesakitan dengan perutnya yang kosong. Jadi untuk mengantisipasinya, Rayyan memilih menolak permintaan Dira.

RAYDIRA: What Are We? [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang