Apa hal yang paling Sheila benci?
Salah, yang benar tidak tepat waktu. Saat ini, Sheila tengah berdiri di depan gerbang sebuah bangunan megah untuk menunggu teman-temannya datang. Panas matahari yang terik sangat menyiksanya, beberapa kali pula gadis itu menyeka keringat yang mengalir di pelipis.
Hari ini Sheila bersama teman kelompoknya berencana mengerjakan tugas kunjungan untuk Bahasa Indonesia. Kunjungan yang mereka pilih ialah Museum Tekstil, setelah kunjungan mereka akan membuat laporan serta beberapa video untuk menambah kelengkapan tugas. Namun sayangnya, Sheila telah menunggu sangat lama dari waktu yang ditentukan.
"Halo, lo di mana?"
Andi di balik telepon yang sepertinya masih berada di jalan bersama kedua teman lainnya. "Bentar lagi, Shel."
Sheila menghela napas. Memijat area keningnya, "udah lewat 30 menit. Cepetan!"
"Shel, maaf, tadi nunggu gue dulu." Sahut Fahira.
"Iya, iya gapapa. Cepetaan dikit, ya."
Andi menyahut kembali, "Bang Radja emang belum dateng?"
"Belum. Gak jadi mungkin."
"Wah, kalau dia gak ikut enak banget dong, kita-kita doang yang kerja." Sambung Veiya.
Sheila lagi-lagi mendengkus sebal. "Gue gak peduli, sih, kalau dia. Gue butuhnya kalian cepetan datang ke sini. Ngaret banget."
"Iya, iya, Shel."
Panggil ditutup oleh Sheila yang dengan suasana hati tidak keruan. Emosinya benar-benar memuncak kali ini. Tugas kelompok memang selalu menyusahkan.
Sheila menoleh ke belakang, tepatnya ke arah pintu masuk yang mana terdapat pengunjung lain. Dari arah belakangnya Sheila merasakan hawa tidak enak, hingga membuatnya spontan berbalik dan terlonjak kaget.
Pasalnya hawa tersebut adalah Radja yang dengan pakaian kasualnya berdiri tepat di belakangnya. "Hai." Radja tersenyum. Lelaki itu tidak membawa perlengkapan apa pun untuk kelompok.
"Gak masuk?"
Sheila menurunkan bahunya, lega. Orang yang dia kira tidak akan hadir untuk mengerjakan tugas ternyata malah datang lebih dulu dibandingkan yang lainnya. Sheila tidak yakin, namun mungkin Radja bisa sedikit diandalkan. "Lagi tunggu yang lain."
"Belum pada dateng?" Radja seolah melihat ke sekitar mencari teman kelompoknya yang lain.
Sheila hanya menggeleng dengan mata yang sedikit tertutup akibat panasnya matahari yang menyorot ke matanya.
"Masuk aja dulu, tunggu di dalam." Ajak Radja sambil berjalan menuju pembelian tiket. "Dua tiket." Pesan Radja. "Terimakasih, pak." Tiket diterima dan mereka pun masuk terlebih dahulu.
"Nih, uangnya." Sheila menyerahkan uang yang seharusnya tadi ia berikan saat membeli tiket.
"Gak usah. Pegang aja."
Sheila menautkan kedua alisnya. "Dih, apaan? Nggak, ambil, nih. Bayar sendiri-sendiri aja."
Radja menolak lagi. Uang yang ada di tangan Sheila ia dorong lagi kepada si empunya. "Karena ini hari pertama kita ngerjain tugas bareng, jadi gue aja yang bayar, ya."
Susah memang berurusan dengan orang keras kepala seperti Radja. Walau sebenarnya Sheila senang juga karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk tiket.
Tidak lama mereka berkeliling sambil Sheila mencatat-catat hal yang penting di dalam note ponselnya, Andi, Fahira, dan Veiya hadir di dalam. Sebelumnya Sheila sudah memberitahu bahwa ia masuk lebih dulu bersama dengan Radja.
"Udah buat video?" Tanya Fahira.
"Belum, sih, lo aja yang shoot biar gue cari hal-hal yang bisa dimasukin ke laporan. Bikin video bareng yang lain, ya." Jelas Sheila.
"Okeii. Tapi lo gapapa, nih, catat sendirian gini?"
Sheila menimang keputusannya, sebelum akhirnya mengangguk yakin. "Ya, gapapa."
Radja yang sedari tadi menguping pembicaraan Sheila dan Veiya pun merasa terganggu. Sheila itu seperti membebankan dirinya sendiri. Setelah Sheila selesai selesai berbicara dengan Veiya, gadis itu menelusuri ruangan sendirian sambil mengetik pada layar ponsel.
Diam-diam lelaki itu menjauh dari rombongan dan mengikuti Sheila di belakang.
Lucu sekali. Gadis di depannya itu sesekali bergumam sendiri mengagumi keindahan batik-batik yang ada di sana. Membuat Radja yang melihat ikut tersenyum tanpa sadar.
"Eh, ngapain lo?" Tanya Sheila sewot saat mendapati Radja di belakangnya sedang merekam.
Radja tertawa ringan. Sambil terus mengarahkan kamera ke arah Sheila.
"Hapus!" Suruh Sheila. "Hapus, ya, gak mau tau gue. Atau nama lo gak ada di daftar tugas."
Radja masih saja tertawa, sampai menurunkan ponselnya dan menaruhnya ke saku jaket. "Iya, udah dihapus." Akunya, yang tentu saja berbohong. Mana mungkin dia menghapus video itu. Kalau Radja sedang sedih, video itu akan membantunya untuk kembali tersenyum.
Setelahnya mereka berjalan bersama dengan Sheila yang memimpin dan Radja mengikuti di belakang, menelusuri lebih luas galeri batik ini. Sheila yang sibuk mencatat sambil menjelaskan beberapa sejarah batik yang dia tahu, sedangkan Radja dengan seksama mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulut Sheila.
"Waahh!! Ini batik ribet banget." Takjub Radja sambil melihat dengan jeli setiap detail-detail dari kain batik Pekalongan di depannya.
Sheila yang awalnya berjalan mendahului Radja menghentikan jalannya dan menoleh ke belakang. Mundur untuk melihat batik yang dimaksud lelaki itu. "Justru ini yang paling menarik. Batik-batik yang begini biasanya punya arti mendalam, jadi jangan asal ngomong gitu."
Radja yang mendengarkan hanya tersenyum dalam diam. Menatap Sheila yang lebih pendek darinya. "Kalau gue yang buat motif begitu baru dua garis pasti udah hancur."
"Bener. Gak ada harapan."
"Iya, ya."
"Kalau gue hancur di tengah jalan pasti udah nangis. Sayang banget udah capek-capek buat malah rusak garisnya." Tanpa sadar gadis itu menjadi tertarik dengan topik pembicaraan.
"Iya, sayang." Ucap Radja, tatapannya masih tidak lepas dari gadis di sebelahnya.
"Eh, udah selesai belum? Kita mau ke tempat nge-batiknya, nih." Veiya membuyarkan topik antara Radja dan Sheila.
"Eh iya, bareng aja. Ini dikit lagi, kok."
Veiya mendengkus. "Gak perlu catat banyak, Shel, nanti ambil dari internet aja sisanya. Gak perlu lengkap banget lah." Kemudian berjalan keluar meninggalkan mereka.
"Iya, Shel, toh nanti juga kita kasih lampiran foto, nanti lembarnya kebanyakan." Tambah Fahira.
Entah mengapa Sheila tidak menyukai itu. Seperti mereka tidak menghargai Sheila. Lagi pula ia hanya ingin memberikan yang terbaik untuk kelompoknya. Apa salah jika dirinya ingin mendapatkan nilai sempurna? Walau ini tugas kelompok, Sheila tetap harus mempertahankan nilainya. Walau dia bekerja lebih banyak, namun nilainya dibagi rata, ia tidak apa-apa.
"Lo juga mau ikut-ikutan?" Tukas Radja pada Andi yang terdiam di tempat setelah Fahira menyusul Veiya.
"Nggak. Gue mah ikut kata Sheila aja." Ucap Andi agak gugup.
Tidak suka Radja mendengar semua opini temannya. Mereka seperti menyalahkan Sheila padahal gadis itu berusaha yang terbaik. Radja tidak bisa berbuat apa-apa, lelaki itu hanya diam sambil menatap Sheila yang kembali sibuk dengan ponselnya--mencatat laporan.
"Ayo, Ja, nyusul yang lain."
Radja mengangguk, sambil mengekori Sheila yang sudah memasukkan ponsel ke dalam tas kecil yang dibawanya. "Lo suka nge-batik?" Tanya Radja.
"Mau coba aja, sih. Terakhir buat tuh waktu SD. Udah lama banget, 'kan. Kayaknya seru, deh."
"Oke. Gue juga mau coba, seru kayaknya." Ujar Radja ikut-ikutan.
—[...]
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Love | Lee Jooyeon
FanfictionSheila pikir kehidupan SMA nya akan baik-baik saja, mulus, dan berjalan sesuai rencananya. Namun sayangnya tidak, sejak kehadiran Radja-kakak kelas yang gagal lulus-kehidupan sekolahnya berubah 180 derajat. Lelaki itu membuat rencana hidupnya hancur...