[3] Unexpected Love; Di Perpustakaan

93 15 1
                                    

Bel istirahat kedua berbunyi. Istirahat ini biasa digunakan oleh siswa untuk sholat berjamaah atau jajan ke kantin. Namun hari ini Sheila tidak menjadi bagian dari keduanya. Dikarenakan sedang berhalangan, gadis itu berinisiatif pergi ke perpustakaan sekolah untuk mengisi waktu kosongnya. Setelah mengisi daftar kunjungan di meja penjaga, Sheila menyusuri rak-rak yang berjejer rapi berisi buku bacaan dan memutuskan mengambil satu buku pelajaran Fisika. Sheila mengambil buku itu untuk mempelajari materi pelajaran yang akan ia temui di hari-hari ke depannya. Intinya agar dia bisa memahami materi dan menjadi satu langkah di depan teman-temannya.

Sheila berjalan memilih barisan paling belakang untuk mulai meneliti materi yang dibawanya. Namun setibanya di belakang, ia menemukan sepasang sepatu yang menjulur ke samping dengan kursi dan meja-meja yang menutupi tubuh si pemilik kaki tersebut. Saat dilihat lebih dekat Sheila tahu kalau itu adalah Radja.

Tidak heran memang. Biasanya pada jam istirahat kedua yang digunakan untuk sholat ini pasti guru kedisiplinan menyusuri koridor kelas untuk melabrak kelas-kelas yang tidak mengikuti kegiatan sholat. Biasanya anak perempuan yang berhalangan akan didata, sedangkan anak laki-laki akan dipukul menggunakan penggaris kayu panjang. Ada beberapa yang melanggar aturan tersebut, seperti mereka akan pergi ke belakang sekolah tepatnya di warung Mang Waluh untuk melarikan diri atau beberapa akan pergi ke perpustakaan untuk tidur. Tepat seperti yang dilakukan Radja saat ini.

Sheila tidak menghiraukannya, gadis itu menarik satu kursi yang dibelakangi Radja dan duduk di sana. Beruntung Radja tidur dan tidak menganggu dia untuk belajar. Ya setidaknya begitu untuk beberapa menit, sampai tiba-tiba saja kaki kursi yang didudukinya seperti ditendang dari belakang yang tidak lain si pelakunya adalah Radja.

"Aaawww...." Rintih orang di belakang Sheila yang sekarang sedang meringkuk sambil memegangi lututnya. "Haduh, anjir." Umpat Radja pelan.

Sheila menoleh dan sedikit menunduk, memperhatikan si empunya suara tersebut. Tanpa berbicara banyak Sheila kembali dengan bukunya. Jangan hiraukan, pikirnya. Namun tidak bagi Radja, lelaki itu mendongakkan kepalanya menatap tajam surai hitam yang terikat di depannya. Segera Radja merubah posisinya menjadi duduk bersila.

"Woi, jangan duduk di sini." Bisiknya.

Sheila masih teguh pada pendiriannya.

Radja berdecak, "pindah sana. Ganggu orang tidur aja."

"Bukannya bagus gue duduk di sini?" Sheila berkata tanpa menoleh ke belakang. Matanya fokus pada buku meski ucapannya tertuju pada Radja. "Lo jadi makin ketutupan."

Radja berpikir sejenak, kemudian mengangguk setuju. Lelaki itu lanjut berbaring di lantai dengan kaki kiri yang ditekuk dan lengan yang dijadikan bantalan. Sheila pikir lelaki itu sudah kembali ke alam mimpinya dan tidak mengangguk konsentrasi Sheila, namun yang terjadi adalah keterbalikannya. Radja mengetuk keras kaki kursi Sheila dengan lutut kirinya itu yang memang berada tepat di belakang Sheila.

"Lo yang tadi maju, ya?" Tanya Radja. "Anak 12 IPA 2? Sekelas dong, ya." Radja menatap langit-langit perpustakaan. Sambil ujung kaki kanannya bergoyang ke kanan-kiri. Melihat Sheila yang masih tidak menghiraukan perkataannya, Radja mengetuk keras kembali kaki kursi yang diduduki Sheila. "Lo kenal gue gak?"

Sheila masih diam, tidak bergerak sedikit pun.

"Gue Radja. Pasti lo tahu gue dari guru atau anak-anak lain, ya." Karena masih tidak dihiraukan, terpaksa Radja mengetuk kursi itu untuk waktu yang lama, berkali-kali sampai di empunya kesal dan berbalik.

Radja tersenyum saat melihat wajah Sheila yang menunduk ke arahnya. "Hai."

"Mau lo apa?"

Tidak pernah sekalipun Sheila berinteraksi dengan Radja dari pertama dia masuk ke sekolah ini. Mungkin karena tingkatan mereka yang berbeda, atau karena Radja yang memang jarang sekali menunjukkan dirinya di sekolahan. Yang jelas, ini pertama kalinya mereka saling berbicara satu sama lain.

"Nama lo Sheila, ya?" Radja tersenyum. "Gue Radja, kalo lo belum tahu."

"Kenapa gue harus tahu?"

Radja terkejut dengan jawaban itu. Tidak, sebenarnya Radja terkejut dengan ekspresi yang ditunjukkan Sheila. Jika dilihat dari segi umur, maka Radja merupakan seniornya dan seharusnya Sheila menunjukkan rasa hormatnya sedikit. Namun yang Radja dapati ialah nada bicara datar serta ekspresi dingin dilengkapi tatapan yang tajam.

"Karena kita sekelas, gue rasa kita perlu kenalan."

"Gak perlu." Tukas Sheila, kemudian kembali berbalik untuk melanjutkan kegiatannya.

Radja yang sudah paham bahwa Sheila tidak ingin berinteraksi dengannya pun memilih diam. Memejamkan matanya sampai tersadar ketika bel berbunyi kembali. Radja yang membuka mata dan masih mendapati Sheila duduk di depannya pun beranjak terlebih dulu.

Sedangkan Sheila yang masih terpaku pada rumus-rumus di depannya pun tersentak kala kursinya didorong menyamping secara tiba-tiba. Sejurus kemudian wajah familiar berdiri tepat di hadapannya dengan keadaan yang sejajar dengan wajahnya.

Untuk waktu yang lama mereka saling beradu tatap. Radja dengan tidak sopannya seakan mengunci Sheila yang masih terduduk di kursi. "Udah bel, Shel." Setelah mengatakan itu Radja pergi meninggalkan Sheila yang masih mematung di tempat.

Ada beberapa hal yang masih terpikirkan Sheila saat ini; yang pertama dia masih tidak bisa mencerna apa maksud dari dorongan kursi itu; yang kedua bagaimana tatapan tajam Radja yang memakunya untuk tetap diam seakan terhipnotis; yang ketiga ialah deru napas Radja yang masih terasa di wajahnya. Benar, hangat napasnya masih bisa dirasakan bahkan setelah si empunya meninggalkan tempat. Semuanya masih belum bisa tercerna dengan baik, terlalu cepat dan kabur.

"Gila, tuh, orang." Ujar Sheila sambil membuang napasnya.

—[...]

Unexpected Love | Lee JooyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang