Hari berganti, pagi itu Daniel pergi ke universitas meski tidak memiliki kelas pagi. Sengaja menghindari teman-temannya, Daniel menghampiri Pak Eko—penjaga gerbang Universitas Mahardika.
"Pagi, Pak," tegur Daniel begitu sampai di tempat Pak Eko yang berasa di pos.
"Pagi, oalah ... Nak Daniel? Bapak pikir siapa? Ada apa? Tumben Nak Daniel datang ke sini?"
"Begini, Pak ..." Daniel sekilas menggaruk keningnya yang mengernyit, menciptakan suasana yang serius ketika ia berbicara. "Jadi kemarin itu saya kehilangan ponsel saya, Pak. Kalau nggak salah pas saya di sekitar parkiran. Bisa nggak, Pak kalau saya cek CCTV."
"Waduh, kalau masalah itu saya gak berani, Nak Daniel. Harus ada izin dulu dari atasan."
"Gimana ya, Pak? Ini masalahnya mendesak banget, saya nyimpen file-file pinting di hp saya. Bapak bisa nggak, Pak diem-diem aja. Saya nggak akan minta salinan rekaman, cuma mau lihat aja, Pak."
Pak Eko tampak berpikir keras. "Ya udah, karena saya juga udah tahu Nak Daniel seperti apa, saya kasih izin. Tapi Nak Daniel harus janji jangan bilang hal ini ke siapapun."
"Iya, Pak. Sebelumnya terima kasih, Pak."
Daniel kemudian masuk ke pos jaga dan memeriksa rekaman CCTV tiga hari lalu di sekitar gerbang hingga area parkir. Sementara itu Pak Eko sudah sibuk di depan gerbang. Hal itu juga memudahkan bagi Daniel untuk menemukan apa yang ia cari. Tak membutuhkan waktu lama, Daniel segera menemukan rekaman di hari Felix datang ke universitas.
Tatapan dingin Daniel yang tengah fokus pada layar komputer di hadapannya terkesan sangat mengintimidasi. Dia melihat Felix yang berkeliling area parkir sebelum empat pria yang sebelumnya disebutkan oleh Aldi mendatangi Felix.
Daniel menghentikan rekaman dan memutarnya kembali, memastikan situasi yang terjadi pada rekaman tersebut. Di sana Daniel mendapati bahwa Felix di bawa pergi dengan paksa. Daniel kemudian beralih dengan rekaman CCTV yang menyorot bagian di luar gerbang. Di sanalah Daniel menemukan sebuah mobil yang membawa Felix pergi. Daniel kembali menghentikan pemutaran dan memperbesar layar, di mana dengan samar ia melihat nama yang tertera pada badan mobil.
Rumah Sakit Jiwa Elisabeth, dahi Daniel mengernyit begitu nama tempat itu terlintas. Kenapa Felix dibawa pergi menggunakan mobil itu, pertanyaan itu mengusik batin Daniel. Dan setelah sejenak mempertimbangkan sesuatu, Daniel kemudian meninggalkan pos jafa dan menghampiri Pak Eko.
"Pak," tegur Daniel.
"Gimana, Nak Daniel? Sudah ketemu?"
"Udah, Pak. Terima kasih banyak, Pak. Saya pergi dulu."
"Sama-sama, Nak Daniel."
Daniel keluar dan bergegas menuju motornya yang terparkir di luar gerbang kampus. Kembali mempertimbangkan sesuatu, Daniel kemudian meninggalkan tempat itu.
••••
Di pagi yang sama, di ruangan bernuansa putih yang tampak kosong. Hanya ada sebuah ranjang dan juga seorang pemuda yang duduk bersila di atasnya. Pemuda yang mengenakan pakaian seorang pasien yang mendapatkan perawatan di rumah sakit.
Felix Aditama, beginilah kesehariannya sejak ia menghilang. Terdaftar sebagai seorang pasien di Rumah Sakit Jiwa Elisabeth, Felix ditempatkan di ruang isolasi atas permintaan dari Farhan. Meski Farhan telah lama tidak menafkahi anak-anaknya, tak memungkiri bahwa hingga detik ini pria itu masih menjadi wali dari kedua anaknya.
Tapi alih-alih merasa tertekan, Felix justru terlihat baik-baik saja. Berada di ruang isolasi selama hampir empat hari tak membuatnya merasa tertekan. Dia justru terlihat sangat santai, menjadi lebih tenang dari biasanya meski ia belum berbicara apapun sejak memasuki ruangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU SUARA ADZAN
Novela JuvenilKetika suara Adzan menerpa pendengaran nya. Saat itu, kesepian menghampiri diri Felix. Mengusik jiwa nya. Mempertanyakan akan keberadaan diri nya. Membuat nya selalu merasakan kerinduan yang begitu dalam. Menciptakan sebuah tanya yang tak mampu ia j...