"Lix, lo serius?" tegur Steve, keduanya kini telah berada di ruang kelas. Steve masih tidak percaya jika Felix benar-benar mengabaikan Rahel meski ia sangat antusias melihat kejadian itu.
Felix menyahut tanpa minat, "lo ngomongin apaan sih?"
"Itu ... yang tadi. Lo nggak liat Rahel ada di depan lo?"
"Ya liat lah, orang dia berdiri para di depan gue."
"Terus? Terus? Lo beneran serius mau ngajauhin Rahel? Bukannya masih sayang ke mantan?"
Felix menjawab sembari sekilas menjatuhkan pandangannya, "gue lebih sayang sama Kak Licia."
Steve langsung menepuk bahu Felix. "Itu baru namanya bijaksana. Dari pada lo diapa-apain lagi sama Brian, lo mending jauhin mantan. Dengan begitu lo aman, motor lo juga selamat."
Felix memberikan tatapan menghakimi pada Steve, terlihat jelas bahwa dia masih tidak rela untuk melepaskan Rahel meskipun hubungan mereka telah lama berakhir. Dan setelah hari itu Felix menjalani kehidupannya seperti biasa. Dia terus menghindari Rahel tak peduli berapa kali pun mereka bertemu. Sementara Daniel dan anggota geng motornya disibukkan dengan latihan tim basket mereka untuk mempersiapkan diri dalam pertandingan persahabatan dengan kampus sebelah.
Felix dan Steve siang itu tengah makan di kantin. Seperti biasa, mereka mengobrol seru.
"Eh, Lix. Lo masih ingat sama mantan gue yang anak Fakultas Kedokteran, nggak?" tanya Steve tiba-tiba, mengungkit perihal mantan.
"Yang mana? Perasaan lo punya banyak di Fakultas Kedokteran."
"Yang itu ... anaknya dosen."
"Bukan si Lisa itu, kan?"
"Bukanlah. Yang satunya."
"Terus?" Felix menyahut meski tak mengingat orang yang dimaksud karena ia bukan orang kurang pekerjaan yang harus mengingat seluruh mantan Steve.
"Dengar-dengar, dia lagi ngedeketin Daniel."
Felix seketika tersedak, hampir saja ia menelan bakso yang belum ia kunyah karena berita besar yang dibawa oleh Steve.
"Kalau makan pelan-pelan, nggak ada yang minta," celetuk Steve sembari menyodorkan minuman pada Felix.
Selesai dengan acara tersedaknya, Felix langsung menaruh gelas di tangannya ke atas meja dengan mata melotot dan menimbulkan suara yang cukup keras, sekeras suaranya saat berbicara.
"Lo serius, Steve?"
Steve sedikit tertegun mendengar reaksi Felix. "Lo kenapa tiba-tiba semangat kayak gitu? Nyawa lo baru balik?"
"Beneran tuh cewek deketin Daniel?"
"Ya beneran, lah ... gosip apa yang nggak gue tahu di seantero Mahardika. Tuh cewek sering mondar-mandir di gedung olah raga."
Felix tersenyum simpul, seperti akan mendapatkan sesuatu yang besar. Dan hal itu berhasil ditangkap oleh penglihatan Steve.
"Lo ngapain senyum-senyum gitu?"
Felix merapatkan diri ke meja, tampak antuasias untuk berbicara. Namun senyuman lebarnya seketika menghilang saat beberapa orang bergabung ke meja mereka. Bukan hanya Felix, wajah Steve pun tiba-tiba terlihat canggung ketika seseorang tiba-tiba menepuk bahunya dan langsung duduk di sampingnya.
Anggota geng motor Black Dragon yang kini mengenakan kostum tim basket tiba-tiba bergabung di meja mereka.
"Mang Ujang, kayak biasanya!" teriak salah seorang.
Felix dan Steve saling bertukar pandang. Mereka kemudian sama-sama menegakkan punggung mereka dan menelan ludah dengan canggung. Dan saat itu perhatian Felix teralihkan oleh kedatangan Daniel yang duduk tepat di sampingnya. Karena anggota tim basket tidak muat menjadi satu meja, mereka membagi menjadi dua kelompok. Saat itu pandangan Felix bertemu dengan Daniel. Terlihat jelas siapa yang paling berkuasa di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU SUARA ADZAN
Roman pour AdolescentsKetika suara Adzan menerpa pendengaran nya. Saat itu, kesepian menghampiri diri Felix. Mengusik jiwa nya. Mempertanyakan akan keberadaan diri nya. Membuat nya selalu merasakan kerinduan yang begitu dalam. Menciptakan sebuah tanya yang tak mampu ia j...