Menggenggam Mawar

17 4 3
                                    

Kala itu hari Rabu.
Seiring penyesalan terhadap harapan yang tak terwujudkan, kurasakan pula rasa kecewa dari sinarku dalam kata-katanya.
Penyesalanku terkumpul dalam kata "Aku harap aku bisa berada disisinya".
Lalu perasaan itu hilang, saat kusadari lirik ucapan semu sinarku memanggilku untuk menghampirinya.
Singkatnya, selepas ku mengantarkan kakakku menuju tempat kelahiran ku, aku bersama seorang teman beranjak mengikuti cahaya sinarku.

Mentari tak lama lagi tenggelam. Awan menunjukan pesonanya menghias senja. Kudengar lantunan surat Al Mulk yang menyentuh hati dengan lembut. Seolah bisikan sinarku yang menentukan keberadaannya, terjeda sejenak.
Terbercik rasa malu dihatiku terhadap pemilik surat itu.
Aku tahu, aku sedang berada di sebuah persimpangan.
Aku sadar bahwa aku mengerti apa yang seharusnya aku lakukan.
"Baiknya jangan temui dia ! Hitam putih jalan kebenaran, bukankah aku telah mengetahui nya?"

Namun rasa penasaran dan alasan dalam fikiranku, bahwa aku hanya berniat mengenalnya melalui pandangan nyata, mendorong menghempaskan kesadaran ku.
"Toh aku bersama temanku, yang akan menyadarkan ku, bahwa langkahku bisa saja ia ikuti.
Pastinya aku harus merapikan jejak kaki bukan?" Gertak penasaranku.
Penasaran itu selalu mencari alasan untuk membenarkannya.
Untuk menatap wajah yang baiknya tak harus ku pandang, aku tahu terhadap dasar apa yang aku mempertanggung jawabkan itu.
Seorang manusia pilihan Tuhan zaman ini membolehkan kita melihat wajah yang tak seharusnya dipandang melalui tulisan di sebagian karyanya.

Yah... Mungkin alasan-alasan itu memang sebuah lubang yang Tuhan persiapkan. Adakah kedepannya aku melewatinya? Atau aku menginjaknya?.

Disebuah rumah Tuhan yang indah, diiringi lantunan surat Al Mulk yang hendak berujung, kurasakan suasana hati yang begitu cerah.
Suasana yang mulai kulupa sejak 7 tahun silam.
Denyut nadiku seakan tak terjeda di dorong detak jantung yang begitu cepat. Hingga menggetarkan sebagian anggota tubuhku.
Murungku menjadi ceria.
Senyumku terbalut kaku dan malu.
Ia yang waktu itu ku tatap sinarnya dari sebrang, ia yang hanya ku imajinasi kan melalui suaranya, kini tepat berada di hadapanku.
Ya Allah...
Kaki ku terkejut seolah ia berkata :
" Jangan bergerak tuan !".
Ternyata kenyataan lebih indah dari fatamorgana.
Ia bersinar tenang. Lirihnya mengucapkan salam, seakan menghentikan lidahku untuk menjawabnya.
Tak berani tangan ini menyentuhnya. Walau dalam sudut penghormatan dalam perjumpaan.
Kami sama-sama mengangkat kedua telapak tangan dan menyatukannya dihadapan dada kami.

Waktu terasa singkat. Hingga selepas kurang lebih 2 jam dari mentari terbenam, sinarku ikut tenggelam menuju kediamannya.
Namun pintaku yang kuwarnai dengan warna permohonan sebisaku agar terlukis indah dihatinya, supaya ia berkenan menemuiku kembali esok hari disini, menambahkan kebahagiaan dihati ketika ia menjawab setuju.

***

Aku habiskan waktu malam disekitar rumah Tuhan.
Dinginnya kegelapan seolah selimut yang hangat dalam penantian ini.
Tak ku hiraukan senandung perutku, karena hatiku tak berhenti tertawa.
Untuk terlelap pun, aku seakan tak mau.
Ini penantian terindahku.
Banyak yang mengatakan, "menunggu itu menyakitkan". Namun kala itu, kurasa tidak. Bara cinta tak akan pernah padam oleh penantian.

***

"Mentari pagi... Ku tunggu senyummu!!!". Teriakku dalam hati yang begitu semangat menyongsong pagi.
Terasa lama satu menit kala itu.

Begitulah uniknya waktu.
Ia seakan cepat ketika hati bahagia. Dan kadang terasa lama, ketika hati ingin segera memeluk keinginannya.


***

Pukul 06.30, kulihat sinarku yang begitu anggun. Kesederhanaannya memantapkan suara hatiku.
Ia tak bergincu, namun ia tak terlihat layu.
Ia tak berpakaian mewah, namun terasa istimewa.

Begitulah pandangan cinta terhadap yang dicintainya. Akan selalu menatap indah apa yang dihadapkan nya.


Hari itu aku sangat tak percaya bahwa itu sempat terjadi dalam hidupku. Di hadapanku sebuah danau. Kursi tembok yang selaras dengan suasana tenang di sela barisan pohon-pohon rimbun, seolah membantuku untuk menikmati kebahagiaanku ketika sinarku duduk di sampingku.
Tak ada jarak lagi di antara kita. Waktu telah bersatu. Namun sebagian logikaku masih berjalan. Aku tak ingin terlalu larut dalam ketidak harusan. Hingga ketika di sebuah rumah makan, temanku beranjak meninggalkan kami sejenak.
Entah apa yang menghalangi akal sehatku.
Sinarku bagaikan mawar, ia indah meski berduri.
Dan sebaiknya tak ku genggam.
Namun tangan kiriku meraih tangan kanannya. Ia seolah berkata " duri ini begitu lembut".
Hingga tak kurasakan sakit sedikitpun.
Ya...
Rasa sakit itu terkubur nafsu.
Mungkin ini warna kenangan yang paling cerah dari warna-warna lukisan cintaku.
Mawarku yang bersinar ku genggam erat. Hingga aku lupa, bahwa sakit dari duri ini, cepat atau lambat, akan terasa.

To be continued

Terimakasih untuk siapapun yang berkenan membaca perjalan penaku hingga part ini

Semoga selain terhibur, kalian tidak hanya menikmati literasinya, tapi juga menemukan makna kehidupan.
Baik bisa di realisasikan, ataupun tidak.

Intinya makasih!!!!

Jangan lupa...

Vote, Komen and Share !!!

😘😘😘😘😘

AKSARA JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang